Anggur Mahal, Rakyat Sengsara: Satir Pasar Buah

Jeffrie Gerry
0

 


Anggur Mahal, Rakyat Sengsara: Satir Pasar Buah

Di sebuah negeri yang bernama Negara Buahnesia, pasar buah adalah jantung kehidupan. Tiap pagi, jeruk, apel, pisang, semangka, mangga, melon, pepaya, bahkan salak berbaris rapi di kios. Tapi ada satu buah yang selalu duduk angkuh di etalase kaca berpendingin: anggur.

Anggur tidak pernah turun ke lantai pasar, tidak pernah bercampur dengan jeruk atau pisang. Ia tinggal di dalam etalase mewah, dipajang dalam kotak kaca, dengan label harga selangit. Kalau satu kilo pisang hanya lima ribu, satu kilo anggur bisa mencapai satu juta!

“Kenapa anggur semahal itu?” tanya pepaya sambil melirik ke arah kotak kaca.

“Karena aku buah bangsawan,” jawab anggur dengan suara mendengung tinggi. “Aku didatangkan dari negeri jauh. Aku simbol kemewahan. Aku tidak untuk rakyat biasa.”

Jeruk menoleh ke apel. Apel menoleh ke pisang. Mereka semua menarik napas panjang. Mereka tahu rakyat Buahnesia hanya bisa memandang anggur dari jauh. Para pembeli yang datang ke pasar selalu berdesakan mencari buah murah untuk makan siang atau bekal anak sekolah. Sementara anggur hanya dibeli oleh para pejabat, kolektor buah, atau pemilik restoran bintang lima.

“Lucu ya,” gumam semangka, “padahal kalau dibelah, isinya sama saja: manis, penuh air.”

Pisang mengangguk, “Tapi di negeri ini, harga bukan soal rasa. Harga soal gengsi.”

Suatu hari, datanglah seorang nenek tua ke pasar. Bajunya lusuh, kakinya pincang. Dia membawa uang receh di tangan, mencoba membeli setangkai anggur untuk cucunya yang sedang sakit keras. Nenek itu berdiri lama di depan etalase kaca.

Penjual anggur menatapnya dengan tatapan dingin. “Bu, kalau mau beli, langsung bayar ya. Tidak terima cicilan.”

Nenek itu tersenyum pahit. Dia hitung recehnya, hanya cukup membeli satu butir anggur. Bukan satu tandan, bukan satu kilo, hanya satu butir.

Para buah di sekitar itu terdiam menyaksikan. Pisang gemetar, apel meneteskan embun, jeruk nyaris meledak karena geram. Semangka yang besar hanya bisa bergumam, “Beginikah negeri kita? Anggur mahal, rakyat sengsara.”

Malam harinya, rapat besar buah-buahan digelar di bawah pohon beringin pasar.

“Teman-teman,” ujar mangga sebagai ketua rapat, “kita harus lakukan sesuatu. Pasar ini tidak bisa terus begini. Buah adalah untuk semua rakyat, bukan hanya untuk kalangan atas.”

Pepaya menimpali, “Tapi bagaimana? Anggur dikendalikan mafia buah. Mereka impor dari luar, monopoli harga, atur distribusi. Kita tidak punya kuasa.”

Jeruk mengangkat suara, “Kalau begitu, kita boikot! Jangan mau dijual satu toko dengan anggur. Kita pindah ke pasar rakyat, jual langsung ke warga, tanpa perantara!”

Suasana rapat memanas. Pisang berdiri, mengangkat tandan, “Setuju! Kita lawan kapitalisme buah!”

Semangka tertawa kecil, “Wah, kamu keren juga kalau sudah semangat.”

Akhirnya diputuskan: semua buah lokal akan meninggalkan pasar utama. Mereka akan membuka Pasar Buah Rakyat di lapangan kosong belakang kampung. Di sana, harga buah akan murah, terjangkau semua orang, tanpa label mewah.

Hari pembukaan tiba. Rakyat berbondong-bondong datang. Anak-anak tertawa memeluk semangka, ibu-ibu memilih pisang, bapak-bapak membeli jeruk segar, kakek-nenek membawa pulang pepaya. Semua bahagia.

Sementara itu, di pasar utama, anggur duduk sendirian di etalase kaca. Hari demi hari, tak ada yang membeli. Restoran bintang lima pun mulai mencari buah lokal yang lebih segar dan murah.

“Kenapa tidak ada yang beli aku lagi?” keluh anggur pada penjualnya.

Penjual anggur menghela napas. “Karena rakyat sudah sadar, anggur. Mereka tidak butuh gengsi. Mereka butuh makan.”

Anggur mulai menyusut. Lapisan lilinnya mengering. Bijinya menghitam. Tak ada lagi yang memandangnya dengan kagum.

Suatu sore, nenek tua yang dulu datang membeli satu butir anggur, mampir ke Pasar Buah Rakyat. Dia membeli satu kantong penuh pisang, pepaya, dan jeruk. Dia tersenyum lega. “Sekarang cucuku bisa makan buah setiap hari, bukan cuma mimpi melihat anggur mahal di etalase.”

Para buah tersenyum bangga. Mereka sadar, makna sejati buah bukan pada harga, tapi pada manfaat bagi rakyat.

Pesan pembelajaran:
Cerita ini menggambarkan bagaimana sistem harga yang tidak adil hanya menciptakan kesenjangan dan penderitaan. Barang-barang (atau dalam hal ini, buah) seharusnya tersedia untuk semua kalangan, bukan hanya simbol status bagi segelintir orang. Harmoni pasar terjadi ketika kebutuhan dasar bisa diakses rakyat, bukan ketika gengsi memonopoli rak-rak etalase.

Pesan positif:
Semangat perubahan tidak datang dari atas, tapi dari kesadaran bersama. Ketika komunitas (buah-buahan) bersatu melawan ketidakadilan, lahirlah pasar yang lebih adil, sehat, dan membahagiakan semua pihak. Mungkin kita tidak bisa langsung mengubah dunia, tapi kita bisa mulai dari hal kecil: memilih nilai di atas gengsi, manfaat di atas label mahal.

Di akhir cerita, anggur duduk termenung, menatap kios-kios kosong di pasar utama. Dia akhirnya berbisik pelan, “Mungkin sudah saatnya aku turun dari etalase, belajar jadi buah rakyat juga.”

Dan siapa tahu, suatu hari nanti, anggur pun bisa hadir di meja-meja rakyat, bukan hanya di foto-foto majalah mewah.

Karena sejatinya, setiap buah, sekecil apa pun, lahir untuk membawa kebahagiaan bagi semua. 🍇🍎🍌🍊

Post a Comment

0Comments

🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!

📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!

💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!

🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱

📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!

💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.

— Tim Wortelkenesia 🥕

Post a Comment (0)