Sawo Matang, Politik Setengah Bakar
— Ketika Warna Kulit Menyamar, Tapi Aroma Tak Bisa Bohong
Daftar Isi:
-
Pengantar: Dari Buah ke Bangsa
-
Apa Maksudnya “Sawo Matang”?
-
Politik Setengah Bakar: Janji Hangus di Tengah Jalan
-
Warna Bisa Menipu, Tapi Rasa Tak Bisa Bohong
-
Sindrom “Setengah Masak” di Kursi Rakyat
-
Drama Pemilu: Antara Panggung dan Pawon
-
Siapa yang Membakar, Siapa yang Terbakar?
-
Sawo Bicara: Kami Cuma Buah, Kalian yang Drama
-
Rakyat Sebagai Lidah, Bukan Telinga
-
Penutup: Saatnya Buah Matang Sepenuhnya
1. Pengantar: Dari Buah ke Bangsa
2. Apa Maksudnya “Sawo Matang”?
-
Terlihat matang, tapi gampang busuk.
-
Tampak meyakinkan, tapi cepat goyah.
-
Dibungkus kata manis, tapi isi belum jelas.
3. Politik Setengah Bakar: Janji Hangus di Tengah Jalan
Contoh?
-
Janji bangun jalan, tapi baru peletakan batu pertama—lalu hilang.
-
Janji menurunkan harga, tapi malah naik saat malam lebaran.
-
Janji merakyat, tapi sibuk cari lighting saat kunjungan desa.
4. Warna Bisa Menipu, Tapi Rasa Tak Bisa Bohong
5. Sindrom “Setengah Masak” di Kursi Rakyat
6. Drama Pemilu: Antara Panggung dan Pawon
7. Siapa yang Membakar, Siapa yang Terbakar?
8. Sawo Bicara: Kami Cuma Buah, Kalian yang Drama
Bayangkan jika buah sawo bisa bicara.
“Kami ini buah. Manis alami.Kami tak pernah bikin baliho,atau janji turunkan harga sembako.”
“Kami tumbuh dengan sinar matahari,bukan dengan sorotan kamera TV.”
“Kami jatuh ketika matang,bukan meloncat-loncat saat survei naik.”
9. Rakyat Sebagai Lidah, Bukan Telinga
Dan saat itulah politik kehilangan daya.
10. Penutup: Saatnya Buah Matang Sepenuhnya
Epilog: Untukmu, yang Masih Percaya
Sawo Matang, Politik Setengah Bakar
Puisi Satir Monolog oleh Jeffrie Gerry (Japra)
(I)
Aku adalah politisi,
Wajahku sawo matang,
Bicaraku manis,
Tanganku ringan berjabat,
Dompetku berat oleh janji yang belum dilunasi.
Kau tahu?
Aku bukan siapa-siapa sebelum baliho mengenalkanku,
Sebelum kamera menangkap aku mencium tangan nenek renta
yang kubayar Rp75 ribu per 15 menit.
(II)
Aku percaya pada “politik kedekatan”
Dekat saat pemilu,
Jauh setelah terpilih.
Dekat di panggung kampanye,
Menghilang saat rakyat ingin bertanya.
Ah, jangan salahkan aku,
Aku hanya ikut resep lama:
Setengah masak, tapi tampil menggiurkan.
Layaknya sate belum matang,
Yang penting asapnya naik…
Biar orang percaya aku sedang "berproses".
(III)
Aku suka sawo,
Warnanya netral,
Tidak menantang mata,
Tapi menenangkan pandangan.
Sawo matang, seperti wajahku di kartu pemilih,
Tersenyum hangat dengan gigi hasil pemutih kilat.
Aku tampil sederhana,
Padahal jas yang kupakai lebih mahal dari sepeda rakyat.
Aku menyapa,
Padahal telinga ini disumpal protokol
agar tak terlalu banyak mendengar keluhan.
(IV)
Duhai rakyatku,
Tidakkah kalian lelah berharap?
Kalian terlalu mudah terbuai
oleh janji yang disajikan seperti undangan kondangan:
mewah luar, nasi goreng dalamnya dingin.
Kalian terlalu percaya,
bahwa siapa yang pakai batik adalah yang berpikir rakyat.
Padahal batik itu hanya kostum,
seperti naskah debat yang kutulis 2 jam sebelum siaran.
(V)
Aku belajar dari buah-buahan,
Mangga muda itu seperti aktivis,
Kecut, tapi segar.
Jeruk bali itu seperti pengamat,
Besar, tapi tak selalu terasa manis.
Tapi sawo…
Ah, sawo itu aku:
Hangat, menipu kematangan.
Terlihat siap santap,
Padahal baru keluar dari oven.
(VI)
Aku bilang aku matang,
Padahal aku tahu,
Masih banyak bagian dalam diriku yang mentah.
Niatku setengah,
Usahaku seperempat,
Tapi strategiku penuh.
Aku tahu bagaimana cara tampil seperti bekerja,
tanpa benar-benar menyentuh masalah.
Aku tahu kapan harus diam,
dan kapan menyalahkan sistem.
(VII)
Saat rakyat bertanya soal harga beras,
Aku jawab dengan humor.
Saat ditanya soal korupsi,
Aku jawab dengan puisi.
Saat diminta kehadiran,
Aku kirim press release.
Saat dituntut transparansi,
Aku bilang: "Laporan sedang diproses."
Kau kira aku tak tahu kalian kecewa?
Aku tahu.
Tapi aku percaya,
lupa adalah budaya bangsa.
(VIII)
Setiap lima tahun aku berubah jadi buah segar,
siap digigit oleh rasa lapar rakyat.
Aku didekati oleh tukang survei,
dihias oleh buzzer,
dimasukkan ke blender wacana.
Lalu disajikan dengan es batu demokrasi,
agar kalian tak sadar,
aku sebenarnya belum matang.
(IX)
"Setengah bakar," kata sawo di pojok pasar.
"Kami cuma buah, kalian yang drama."
Kata-kata itu menamparku.
Sawo tak pernah janji.
Sawo tak pernah kampanye.
Sawo tak minta dipilih.
Tapi tetap dicari orang yang tahu rasa.
Sementara aku,
berteriak dalam mikrofon,
berpose dalam spanduk,
berpura-pura dalam naskah…
Tapi begitu menjabat,
aku justru hilang rasa.
(X)
Aku tahu rakyat bukan bodoh,
hanya terlalu sabar.
Sabar menunggu perubahan
yang tak kunjung datang.
Sabar menanti pemimpin
yang tak sekadar pencitraan.
Tapi sabar ada batas.
Dan batas itu kini dekat.
Aku dengar desahan kekecewaan
di warung kopi,
di grup WA keluarga,
di celoteh abang ojek.
Mereka tak teriak,
tapi resahnya seperti api kecil
yang bisa membakar kursi empukku.
(XI)
Sawo matang, tapi setengah bakar.
Itu aku.
Dan mungkin teman-temanku di kursi sana.
Kami bukan pemimpin,
Kami pengatur lampu panggung.
Kami bukan penyelesai masalah,
Kami manajer opini.
Kami bukan perwakilan rakyat,
Kami aktor politik…
Yang menang audisi,
bukan karena kualitas,
tapi karena punya sponsor dan lighting.
(XII)
Tapi hari ini aku bicara jujur.
Bukan karena insaf,
tapi karena takut tak terpilih lagi.
Aku tahu,
rakyat mulai memisahkan buah asli
dan buah plastik.
Mulai tahu,
mana yang manis karena matahari,
dan mana yang manis karena pemanis buatan.
(XIII)
Aku mulai cemas,
karena kalian mulai membaca.
Mulai bertanya.
Mulai mengukur bukan dari kulit,
tapi dari isi.
Dan aku tahu,
saat itu datang,
politik setengah bakar tak laku lagi.
Aku—si sawo matang palsu—
harus menyiapkan pilihan:
benar-benar matang,
atau dibuang ke tong sejarah.
(XIV)
Di akhir monolog ini,
aku tak minta maaf.
Tapi kutitip pesan:
Jika suatu hari nanti,
kalian ditawari wajah ramah di pinggir jalan,
ditanya, “Masih ingat saya?” oleh lelaki bersetelan batik...
Ingatlah monolog ini.
Ingatlah rasa sawo matang
yang ternyata belum masak.
Dan tanyakan pada mereka:
“Matang karena apa?
Niat?
Atau karena takut kalah suara?”
(XV)
Dan jika mereka tak menjawab,
atau mulai menyanyikan lagu nasional…
Kau tahu,
itu masih politik setengah bakar.
Dan kau,
punya kuasa untuk tak memakannya lagi.
🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!
📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!
💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!
🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱
📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!
💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.
— Tim Wortelkenesia 🥕