Sawo Matang, Politik Setengah Bakar

Jeffrie Gerry
0

 


Sawo Matang, Politik Setengah Bakar

— Ketika Warna Kulit Menyamar, Tapi Aroma Tak Bisa Bohong


Daftar Isi:

  1. Pengantar: Dari Buah ke Bangsa

  2. Apa Maksudnya “Sawo Matang”?

  3. Politik Setengah Bakar: Janji Hangus di Tengah Jalan

  4. Warna Bisa Menipu, Tapi Rasa Tak Bisa Bohong

  5. Sindrom “Setengah Masak” di Kursi Rakyat

  6. Drama Pemilu: Antara Panggung dan Pawon

  7. Siapa yang Membakar, Siapa yang Terbakar?

  8. Sawo Bicara: Kami Cuma Buah, Kalian yang Drama

  9. Rakyat Sebagai Lidah, Bukan Telinga

  10. Penutup: Saatnya Buah Matang Sepenuhnya


1. Pengantar: Dari Buah ke Bangsa

Kadang, bangsa ini seperti buah.
Manis di luar, asam di dalam.
Tampil matang, tapi belum ranum rasa.

Kita hidup di negara yang disebut kaya.
Kaya sumber daya, budaya, hingga… akal-akalan.

Dan di tengah segala dinamika ini, muncul satu istilah yang sering dipakai secara metaforis: “sawo matang.”
Warna kulit bangsa ini.
Warna kebanggaan.
Warna khas Indonesia.

Tapi kali ini, mari kita kupas kulitnya. Bukan warna kulit manusianya. Tapi politiknya—yang sering tampil “sawo matang”:
belum benar-benar matang, tapi mengaku siap saji.


2. Apa Maksudnya “Sawo Matang”?

Sawo matang sejatinya warna kulit yang indah.
Perpaduan antara cokelat, kehangatan, dan keteduhan.
Namun, dalam dunia satire, istilah ini bisa jadi refleksi kepribadian politik kita:

  • Terlihat matang, tapi gampang busuk.

  • Tampak meyakinkan, tapi cepat goyah.

  • Dibungkus kata manis, tapi isi belum jelas.

Sawo matang adalah wajah yang terbentuk dari panas dan waktu.
Tapi jika setengah bakar?
Ia bisa tampak matang, padahal masih mentah.

Dan di sinilah letak sindirannya:
Banyak aktor politik di negeri ini yang sawo matang dalam penampilan, tapi setengah matang dalam pemikiran.


3. Politik Setengah Bakar: Janji Hangus di Tengah Jalan

Politik setengah bakar adalah janji yang dipanggang setengah hati.
Tidak serius, tapi cukup untuk dipamerkan.
Tidak utuh, tapi dikemas layaknya prestasi.

Contoh?

  • Janji bangun jalan, tapi baru peletakan batu pertama—lalu hilang.

  • Janji menurunkan harga, tapi malah naik saat malam lebaran.

  • Janji merakyat, tapi sibuk cari lighting saat kunjungan desa.

Politik setengah bakar tidak lahir dari niat, tapi dari perhitungan elektoral.
Yang penting tampil matang.
Padahal, lidah rakyat tidak bisa dibohongi.
Sekali kunyah, kita tahu:
“Oh, ini belum beres masaknya.”


4. Warna Bisa Menipu, Tapi Rasa Tak Bisa Bohong

Politisi itu seperti buah:
Bisa dilapisi lilin agar mengkilap.
Bisa disemprot agar harum.

Tapi ketika dikupas?
Apakah manis? Atau busuk dari dalam?

Sawo matang secara visual menawan.
Namun jika isinya keras, belum matang, atau bahkan busuk—apa gunanya?

Begitu pula dengan politik pencitraan.
Wajah boleh bersih.
Bicara boleh lembut.
Tapi rekam jejak tak bisa dibersihkan dengan sabun atau endorsement.

Rakyat kini cerdas.
Mereka tidak lapar visual.
Mereka lapar bukti.


5. Sindrom “Setengah Masak” di Kursi Rakyat

Lihatlah kursi-kursi dewan.
Penuh wajah-wajah sawo matang yang tampak siap bekerja.
Tapi begitu masa reses datang, mereka lebih cepat menghilang daripada sinyal WiFi di gunung.

Mereka pintar saat kampanye.
Tahu semua harga kebutuhan pokok.
Tahu nama ibu-ibu di RT.

Namun begitu terpilih, ingatan mereka pendek.
Yang panjang adalah daftar fasilitas dan protokol yang mengiringi.

Setengah masak,
karena tak pernah sungguh-sungguh ingin jadi “pelayan.”
Lebih suka jadi “bos rakyat.”


6. Drama Pemilu: Antara Panggung dan Pawon

Setiap lima tahun, kita menonton sinetron luar biasa:
Drama Pemilu.

Ada aktor yang mendadak religius.
Ada politisi yang mendadak bisa main angklung.
Ada tokoh yang katanya dekat dengan rakyat,
padahal parkir mobilnya lebih panjang dari gang sempit kampung.

Kampanye seperti panggung.
Rakyat seperti penonton.
Tapi pawon politik, tempat semua “masakan kebijakan” diolah,
seringkali dipenuhi asap transaksi.

Sawo matang jadi setting.
Setengah bakar jadi strategi.
Yang matang sempurna?
Masih dicari.


7. Siapa yang Membakar, Siapa yang Terbakar?

Dalam politik, selalu ada yang memegang korek.
Selalu ada yang menjadi arang.
Dan selalu ada yang menghanguskan… kepercayaan.

Politisi membakar janji,
Rakyat terbakar harapan.
Dan negeri ini penuh abu janji yang tak pernah disapu.

Sawo matang bukan sekadar warna.
Ia adalah metafora dari penampilan yang sudah cukup dijual,
tapi belum cukup dikunyah.

Dan rakyat kita—yang punya lidah paling jujur—
tak bisa dibohongi selamanya.


8. Sawo Bicara: Kami Cuma Buah, Kalian yang Drama

Bayangkan jika buah sawo bisa bicara.

“Kami ini buah. Manis alami.
Kami tak pernah bikin baliho,
atau janji turunkan harga sembako.”

“Kami tumbuh dengan sinar matahari,
bukan dengan sorotan kamera TV.”

“Kami jatuh ketika matang,
bukan meloncat-loncat saat survei naik.”

Sawo tak pernah bohong.
Warnanya konsisten.
Matangnya jujur.
Dan ia rela busuk, daripada dipoles palsu.


9. Rakyat Sebagai Lidah, Bukan Telinga

Politik setengah bakar seringkali hanya minta didengar.
Tapi tak pernah mau dirasa.

Rakyat bukan hanya telinga,
yang mendengar janji.
Rakyat adalah lidah,
yang tahu mana yang masak dan mana yang mentah.

Jika kita terus disuguhi menu yang tampak enak,
tapi dalamnya setengah matang,
suatu hari lidah rakyat akan kebal.
Tak lagi percaya. Tak lagi menelan.

Dan saat itulah politik kehilangan daya.


10. Penutup: Saatnya Buah Matang Sepenuhnya

Negeri ini tidak kekurangan warna.
Kita tidak kekurangan sawo matang.
Kita kekurangan kematangan isi.

Cukup sudah politik dibakar setengah.
Cukup sudah pemimpin tampil untuk panggung, bukan pawon.

Bangsa ini butuh buah matang utuh,
yang tak hanya harum dari luar,
tapi bergizi dari dalam.
Yang tak cuma ditanam karena musim,
tapi tumbuh karena akar niat yang murni.

Sawo matang seharusnya jadi kebanggaan,
bukan sekadar tampilan.

Dan politik,
seharusnya jadi alat kematangan bangsa,
bukan panggangan ego pribadi.


Epilog: Untukmu, yang Masih Percaya

Jika kamu membaca hingga akhir,
mungkin kamu adalah satu dari sedikit orang
yang masih percaya bahwa bangsa ini bisa matang.

Bahwa pemimpin sejati tidak tampil sempurna,
tapi bekerja dalam diam.
Bahwa rakyat bukan penonton,
tapi pemilik kursi sesungguhnya.

Mari kita tanam politik baru:
Bukan yang sawo matang dalam kulit,
tapi matang dalam hati.




Sawo Matang, Politik Setengah Bakar

Puisi Satir Monolog oleh Jeffrie Gerry (Japra)


(I)
Aku adalah politisi,
Wajahku sawo matang,
Bicaraku manis,
Tanganku ringan berjabat,
Dompetku berat oleh janji yang belum dilunasi.

Kau tahu?
Aku bukan siapa-siapa sebelum baliho mengenalkanku,
Sebelum kamera menangkap aku mencium tangan nenek renta
yang kubayar Rp75 ribu per 15 menit.


(II)
Aku percaya pada “politik kedekatan”
Dekat saat pemilu,
Jauh setelah terpilih.
Dekat di panggung kampanye,
Menghilang saat rakyat ingin bertanya.

Ah, jangan salahkan aku,
Aku hanya ikut resep lama:
Setengah masak, tapi tampil menggiurkan.
Layaknya sate belum matang,
Yang penting asapnya naik…
Biar orang percaya aku sedang "berproses".


(III)
Aku suka sawo,
Warnanya netral,
Tidak menantang mata,
Tapi menenangkan pandangan.
Sawo matang, seperti wajahku di kartu pemilih,
Tersenyum hangat dengan gigi hasil pemutih kilat.

Aku tampil sederhana,
Padahal jas yang kupakai lebih mahal dari sepeda rakyat.
Aku menyapa,
Padahal telinga ini disumpal protokol
agar tak terlalu banyak mendengar keluhan.


(IV)
Duhai rakyatku,
Tidakkah kalian lelah berharap?
Kalian terlalu mudah terbuai
oleh janji yang disajikan seperti undangan kondangan:
mewah luar, nasi goreng dalamnya dingin.

Kalian terlalu percaya,
bahwa siapa yang pakai batik adalah yang berpikir rakyat.
Padahal batik itu hanya kostum,
seperti naskah debat yang kutulis 2 jam sebelum siaran.


(V)
Aku belajar dari buah-buahan,
Mangga muda itu seperti aktivis,
Kecut, tapi segar.

Jeruk bali itu seperti pengamat,
Besar, tapi tak selalu terasa manis.

Tapi sawo…
Ah, sawo itu aku:
Hangat, menipu kematangan.
Terlihat siap santap,
Padahal baru keluar dari oven.


(VI)
Aku bilang aku matang,
Padahal aku tahu,
Masih banyak bagian dalam diriku yang mentah.

Niatku setengah,
Usahaku seperempat,
Tapi strategiku penuh.

Aku tahu bagaimana cara tampil seperti bekerja,
tanpa benar-benar menyentuh masalah.
Aku tahu kapan harus diam,
dan kapan menyalahkan sistem.


(VII)
Saat rakyat bertanya soal harga beras,
Aku jawab dengan humor.

Saat ditanya soal korupsi,
Aku jawab dengan puisi.

Saat diminta kehadiran,
Aku kirim press release.

Saat dituntut transparansi,
Aku bilang: "Laporan sedang diproses."

Kau kira aku tak tahu kalian kecewa?
Aku tahu.
Tapi aku percaya,
lupa adalah budaya bangsa.


(VIII)
Setiap lima tahun aku berubah jadi buah segar,
siap digigit oleh rasa lapar rakyat.

Aku didekati oleh tukang survei,
dihias oleh buzzer,
dimasukkan ke blender wacana.
Lalu disajikan dengan es batu demokrasi,
agar kalian tak sadar,
aku sebenarnya belum matang.


(IX)
"Setengah bakar," kata sawo di pojok pasar.
"Kami cuma buah, kalian yang drama."

Kata-kata itu menamparku.

Sawo tak pernah janji.
Sawo tak pernah kampanye.
Sawo tak minta dipilih.
Tapi tetap dicari orang yang tahu rasa.

Sementara aku,
berteriak dalam mikrofon,
berpose dalam spanduk,
berpura-pura dalam naskah…

Tapi begitu menjabat,
aku justru hilang rasa.


(X)
Aku tahu rakyat bukan bodoh,
hanya terlalu sabar.
Sabar menunggu perubahan
yang tak kunjung datang.
Sabar menanti pemimpin
yang tak sekadar pencitraan.

Tapi sabar ada batas.
Dan batas itu kini dekat.

Aku dengar desahan kekecewaan
di warung kopi,
di grup WA keluarga,
di celoteh abang ojek.

Mereka tak teriak,
tapi resahnya seperti api kecil
yang bisa membakar kursi empukku.


(XI)
Sawo matang, tapi setengah bakar.
Itu aku.
Dan mungkin teman-temanku di kursi sana.

Kami bukan pemimpin,
Kami pengatur lampu panggung.

Kami bukan penyelesai masalah,
Kami manajer opini.

Kami bukan perwakilan rakyat,
Kami aktor politik…
Yang menang audisi,
bukan karena kualitas,
tapi karena punya sponsor dan lighting.


(XII)
Tapi hari ini aku bicara jujur.
Bukan karena insaf,
tapi karena takut tak terpilih lagi.

Aku tahu,
rakyat mulai memisahkan buah asli
dan buah plastik.

Mulai tahu,
mana yang manis karena matahari,
dan mana yang manis karena pemanis buatan.


(XIII)
Aku mulai cemas,
karena kalian mulai membaca.
Mulai bertanya.
Mulai mengukur bukan dari kulit,
tapi dari isi.

Dan aku tahu,
saat itu datang,
politik setengah bakar tak laku lagi.

Aku—si sawo matang palsu—
harus menyiapkan pilihan:
benar-benar matang,
atau dibuang ke tong sejarah.


(XIV)
Di akhir monolog ini,
aku tak minta maaf.
Tapi kutitip pesan:
Jika suatu hari nanti,
kalian ditawari wajah ramah di pinggir jalan,
ditanya, “Masih ingat saya?” oleh lelaki bersetelan batik...

Ingatlah monolog ini.
Ingatlah rasa sawo matang
yang ternyata belum masak.

Dan tanyakan pada mereka:
“Matang karena apa?
Niat?
Atau karena takut kalah suara?”


(XV)
Dan jika mereka tak menjawab,
atau mulai menyanyikan lagu nasional…
Kau tahu,
itu masih politik setengah bakar.

Dan kau,
punya kuasa untuk tak memakannya lagi.

Post a Comment

0Comments

🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!

📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!

💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!

🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱

📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!

💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.

— Tim Wortelkenesia 🥕

Post a Comment (0)