Sayuran Berdasi, Petani Menangis

Jeffrie Gerry
0

 


Di Suatu Pagi di Negeri Agrikulturia

Matahari menggantung malu-malu di langit, seakan ragu untuk memancarkan cahaya ke negeri Agrikulturia. Di desa kecil bernama Daun Segar, Pak Tani duduk termenung di pinggir sawah, memandangi ladang sayurannya yang dulu hijau ranum, kini sepi pembeli. Lobak, wortel, kubis, bayam — semua tergeletak di keranjang, masih segar, tapi tak ada yang melirik.

Sementara itu, di pusat kota Agrikulturia, sayuran-sayuran berdasi sibuk berkumpul dalam rapat besar di sebuah gedung kaca bertingkat lima puluh lantai. Mereka bukan sayuran biasa. Ini adalah para “Sayuran Berdasi” — wortel CEO, kubis manajer, bayam supervisor, dan brokoli direktur utama. Mereka bukan hidup di ladang, melainkan di rak-rak supermarket premium, dalam kemasan plastik cantik, ditempeli label “ORGANIC” dengan harga tiga kali lipat.

“Kita harus meningkatkan branding!” seru Brokoli Direktur. “Orang-orang sekarang tidak mau lagi makan sayur biasa dari petani kampung. Mereka mau sayuran yang punya sertifikat, yang difoto pakai filter Instagram, yang kalau bisa viral di TikTok!”

Wortel CEO mengangguk serius. “Benar! Kita harus meluncurkan kampanye Eat Pretty, Live Pretty. Siapa yang mau makan bayam biasa kalau ada bayam berkemasan elegan, lengkap dengan cerita latar belakang, ‘Bayam ini dipetik saat matahari terbenam oleh tangan-tangan lembut pekerja eksklusif’? Kita harus jadi lifestyle!”

Sementara itu, di ladang, Pak Tani cuma bisa mengelus dada. Ia ingat dulu, saat orang-orang datang langsung ke sawahnya, membeli sayuran segar tanpa perantara, tanpa label, tanpa cerita palsu. Tapi sekarang? Semua mata tertuju pada sayuran yang fotonya bisa masuk Pinterest. Sayuran di rak supermarket yang dipoles marketing, bukan sayuran hasil kerja keras tangannya.


Hari-Hari Penuh Ironi

Setiap pagi, Pak Tani membawa hasil panennya ke pasar tradisional. Tapi pembelinya makin sedikit. “Sayurnya kurang esthetic, Pak,” kata seorang anak muda yang lebih sibuk memotret ketimbang membeli. “Liat deh, yang di supermarket itu cakep banget warnanya! Kalau ini, kayak nggak niat jualan.”

Pak Tani hanya tersenyum getir. Sejak kapan sayuran harus cantik untuk bisa dimakan? Sejak kapan makanan pokok bergeser jadi pajangan media sosial?

Di layar televisi desa, iklan sayuran berdasi berkumandang. “Dapatkan kubis premium, hasil seleksi ketat, hanya Rp 50.000 per buah! Rasakan sensasi makan sehat sekaligus bergengsi!”

Petani-petani lain ikut merasa resah. Hasil kerja keras mereka tak laku, sementara para “Sayuran Berdasi” dari pabrik besar terus berjaya. Padahal, sumbernya sama: tanah. Bedanya cuma, yang satu lahir dari ladang sederhana, yang lain lahir dari ruang rapat dan divisi pemasaran.


Rapat Besar di Gedung Kaca

“Kita akan merilis spinach latte bulan depan,” kata Bayam Supervisor. “Dan jangan lupa, wortel harus masuk ke produk skincare. Orang sekarang nggak cuma mau makan sehat, mereka mau tampil sehat. Sayuran bukan cuma makanan, tapi statement! Petani kecil? Yah… mereka bagian dari sejarah, bukan masa depan.”

Seluruh ruangan bertepuk tangan. Para sayuran berdasi ini tak lagi peduli dari mana mereka berasal. Mereka sekarang sibuk bicara angka, branding, influencer, tren. Mereka lupa bahwa tanpa ladang, tanpa tangan petani, mereka tak akan pernah ada.


Petani Menangis di Ladang Sunyi

Di malam hari, Pak Tani duduk di bawah pohon. Bulan menggantung sendu. Ia menatap ladangnya yang sunyi. Ia ingat dulu saat anaknya bercita-cita jadi petani sepertinya. Sekarang? Anak itu bekerja di kota, membantu mendesain kemasan sayuran berdasi yang menyingkirkan hasil panen ayahnya sendiri.

“Ayah, pasar sudah berubah,” begitu kata si anak waktu pulang terakhir. “Orang nggak cuma beli karena butuh, mereka beli karena mau pamer.”

Pak Tani menghela napas panjang. “Jadi, siapa yang makan sayuranku, Nak?”

“Entahlah, Yah. Mungkin hanya ayam-ayam di kampung.”


Pesan Pembelajaran untuk Pembaca

Cerita “Sayuran Berdasi, Petani Menangis” ini bukan hanya sindiran untuk tren konsumsi zaman sekarang. Ini adalah cermin bagi kita semua: apakah kita masih menghargai tangan-tangan petani yang memberi kita makan? Atau kita lebih sibuk mengejar kemasan, label, status, dan citra?

Di balik sehelai daun bayam sederhana, ada keringat seorang petani. Di balik sebiji tomat, ada harapan keluarga di desa. Jangan biarkan kita buta oleh marketing dan lupa pada sumber pangan sejati kita.

Pesan positifnya jelas: hargailah petani. Beli langsung dari mereka kalau bisa. Jangan biarkan ketamakan industri menggusur tangan-tangan kecil yang bekerja tanpa pamrih.


Dialog

Judul: Sayuran Berdasi, Petani Menangis — Versi Dialog 1000 Kata


Tokoh:

  • Pak Tani — Petani sederhana di desa Daun Segar

  • Wortel CEO — Pemimpin sayuran berdasi

  • Brokoli Direktur — Direktur utama perusahaan sayuran premium

  • Bayam Supervisor — Supervisor pemasaran

  • Anak Pak Tani (Raka) — Bekerja di kota, bagian desain kemasan

  • Pemuda Pembeli — Pembeli yang ingin langsung dari ladang


(Di ladang Pak Tani, pagi hari)

Pak Tani:
(sambil mengelus daun bayam yang layu)
“Aduh, panen bagus begini kok nggak ada yang mau beli ya… Apa salahku, Tuhan? Apa bayamku kurang senyum? Apa wortelku kurang berdasi?”

(Tiba-tiba terdengar suara khayalan, muncul bayangan Wortel CEO dan Brokoli Direktur berdiri berdasi rapi, membawa tas kerja mahal.)

Wortel CEO:
“Hai, Pak Tani. Wah, sayuranmu… hmm, kurang cocok buat pasar premium. Kami sih sekarang pakai branding, storytelling, dan kemasan estetik. Petani kecil seperti Bapak? Maaf, kurang pas di pasar modern.”

Pak Tani:
(bingung)
“Lho, wortel, kamu kok bisa ngomong? Dulu waktu kecil aku nanam kamu, kamu diam saja. Sekarang malah bawa tas kulit?”

Brokoli Direktur:
(tersenyum sinis)
“Kami sudah naik kelas, Pak. Kami sekarang ada di rak supermarket elit, ditemani lampu sorot, musik jazz, dan label ORGANIC IMPORTED. Mana sempat ingat ladang kampung begini?”


(Di kota, rapat perusahaan sayuran premium)

Bayam Supervisor:
“Kita harus pastikan packaging terbaru kita punya nuansa ‘healing’, ya. Jadi pembeli tuh merasa kalau makan bayam kita, mereka bisa sembuh dari luka hati.”

Wortel CEO:
“Setuju! Dan jangan lupa, tiap kemasan harus ada cerita: ‘Bayam ini dipetik oleh tangan bersih di pagi berkabut, dengan doa dan cinta.’ Itu yang bikin orang mau bayar mahal.”

Brokoli Direktur:
“Bayangkan, Pak Tani di kampung sana mikir bayam cuma buat tumis, sementara kita jual bayam untuk lifestyle.”

(Semua tertawa bersama.)


(Kembali ke desa, malam hari, Pak Tani duduk termenung.)

Pak Tani:
(berbicara sendiri)
“Raka, anakku… kamu sekarang kerja bikin kemasan sayuran, ya? Dulu kamu main lumpur di sini. Sekarang malah bantu mereka yang bikin sayuran Ayah nggak laku.”

(Terdengar suara Raka dari ingatan.)

Raka:
“Ayah, zaman sudah berubah. Orang sekarang beli sayur bukan cuma buat makan, tapi buat foto, buat pamer. Ayah harus mengerti, ini soal pasar.”

Pak Tani:
(dengan suara pelan)
“Pasar… pasar… jadi siapa yang makan sayuran Ayah sekarang?”


(Di gedung kaca, rapat malam hari.)

Bayam Supervisor:
“Besok kita launching spinach smoothie, ya. Jangan lupa, endorse influencer vegan yang punya 1 juta followers.”

Wortel CEO:
“Kalau bisa, bikin iklan di TikTok. Anak muda harus lihat, kalau minum smoothie kita itu bukan cuma sehat, tapi juga keren.”

Brokoli Direktur:
“Petani-petani desa? Ah, biar saja mereka nangis di ladang. Mereka nggak ngerti marketing.”


(Keesokan harinya, di ladang, muncul seorang pemuda mendekat.)

Pemuda Pembeli:
“Pak, saya boleh beli bayam langsung dari sini?”

Pak Tani:
(kaget)
“Hah? Kamu nggak mau ke supermarket saja? Kan di sana ada lampu sorot, musik jazz, dan AC dingin.”

Pemuda Pembeli:
(tersenyum)
“Saya bosan makan sayuran kemasan, Pak. Rasanya plastik semua. Saya mau makan sayuran yang nyata, yang ada tanahnya, yang ada kisahnya.”

Pak Tani:
(air matanya menggenang)
“Aduh, Nak… terima kasih. Satu pembeli seperti kamu saja sudah bikin hati Ayah hangat.”


(Di layar TV desa, iklan sayuran berdasi muncul.)

Suara Iklan (narator mewah):
“Rasakan sensasi makan sayuran berkualitas, premium, dan bergengsi. Bayam ORGANIC IMPORTED, hanya Rp 50.000 per ikat. Karena hidup terlalu singkat untuk sayuran biasa.”

Pak Tani:
(melihat layar, mendengus)
“Ck, sayuran juga ikut-ikutan sombong sekarang.”


(Di rapat gedung kaca, para sayuran berdasi berdiskusi soal tren baru.)

Bayam Supervisor:
“Eh, kalian dengar nggak? Ada tren baru: orang-orang mau beli langsung dari petani.”

Wortel CEO:
“Ah, itu cuma tren sementara. Begitu musim foto-foto lewat, mereka balik lagi ke kita. Kita ini stylish, sophisticated, elit.”

Brokoli Direktur:
“Jangan anggap remeh. Kita harus bikin kampanye ‘From Farm to Fancy Plate’. Ambil foto bareng petani, biar tetap kelihatan down to earth.”


(Di rumah, malam hari, Pak Tani berbicara dengan Raka di telepon.)

Pak Tani:
“Raka, tadi ada pemuda beli sayur langsung di sini.”

Raka:
“Wah, hebat, Yah! Tapi ingat, itu cuma satu orang. Ayah nggak bisa jualan kalau cuma mengandalkan nostalgia.”

Pak Tani:
(teduh)
“Raka, Ayah nggak jual nostalgia. Ayah jual makanan. Dan satu orang yang mau makan nyata, lebih berarti daripada seribu yang cuma mau foto.”

Raka:
(terdiam, kemudian pelan)
“Ayah… aku rindu makan sayuran buatanmu.”


(Di kantor sayuran berdasi, rapat tiba-tiba hening.)

Bayam Supervisor:
“Eh, Brokoli, kamu nggak takut, ya? Kalau semua orang balik ke petani kecil, kita ini siapa?”

Brokoli Direktur:
(tertawa dingin)
“Kita? Kita adalah sayuran yang sudah lupa akar. Kita nggak takut kehilangan pasar, karena kita sudah jauh dari tanah.”

Wortel CEO:
“Ya, kalau pun semua balik ke petani… kita bisa pivot, kok. Jadi sayuran plastik hias. Kan nggak perlu tanah.”


(Di ladang, fajar menyingsing. Pak Tani berdiri di antara sayurannya.)

Pak Tani:
(tersenyum sendiri)
“Mungkin dunia memang sudah berubah. Tapi tanah tetap sama. Selama aku masih di sini, aku akan tanam, aku akan panen. Siapa tahu, masih ada yang mau makan bayam seadanya.”

(Tiba-tiba Raka muncul di ujung jalan.)

Raka:
“Ayah…”

Pak Tani:
(kaget)
“Raka?”

Raka:
(tersenyum kecil)
“Aku pulang, Yah. Bantu panen, ya? Aku mau coba bikin desain yang jujur. Bukan kemasan plastik… tapi cerita nyata.”

Pak Tani:
(air mata menetes, memeluk Raka)
“Raka… akhirnya kamu pulang.”


Pemuda Pembeli (dari jauh):
“Pak, saya bawa teman-teman saya! Kita mau beli langsung dari sini!”

Pak Tani:
(menengok, tersenyum)
“Selamat datang, Nak. Ladang ini selalu terbuka.”


Puisi Satir Monolog (1000 kata)
Judul: Sayuran Berdasi, Petani Menangis
Oleh: Pengembara Hidup — Jeffrie Gerry (Japra)


Aku adalah Pak Tani,
petani kecil di desa yang dilupakan peta,
setiap fajar menyambutku dengan lumpur dan embun,
setiap senja mengantarku pulang
dengan keranjang penuh sayur yang tak laku.

“Bayamku, segarmu tak cukup?”
“Wortelku, manismu tak memikat?”
“Brokoli, warnamu terlalu kampungan, ya?”

Tapi hei,
sayuran berdasi kini bicara lain,
mereka pakai jazz di rak supermarket,
mereka pakai dasi kupu-kupu dan kemasan emas,
mereka tak kenal tanah, tak tahu lelah.

Bayangkan,
bayam dengan label imported
padahal dulu benihnya aku yang tanam.
Wortel dengan iklan TikTok,
padahal dulu cuma aku yang memetik dengan tangan pecah-pecah.
Brokoli dengan harga setara perhiasan,
padahal aku tak pernah dihargai lebih dari jerih peluh.

Mereka berdasi, aku menangis.
Mereka berbicara tentang pasar,
tentang brand, tentang gaya hidup,
tentang konsumen yang lebih peduli
warna kemasan ketimbang rasa.

Aku?
Aku cuma orang kampung.
Tak mengerti TikTok, tak kenal Instagram,
tak tahu siapa influencer vegan itu.

Tapi aku tahu,
perut lapar tak butuh label ORGANIC IMPORTED.
Aku tahu,
lidah ingin segar, bukan sekadar kemasan kinclong.

Raka, anakku,
kamu pulang sore itu membawa kemasan indah.
Katamu, “Ayah, kita harus naik kelas.”
Aku senyum kecut.
Naik kelas? Naik ke mana?
Aku bahkan tak tahu harus belajar di mana.

Aku hanya bisa turun ke sawah,
mengaduk tanah yang masih sabar memelukku.
Aku hanya bisa bicara dengan cacing,
yang setia bekerja tanpa minta gaji bulanan.

Aku petani,
aku hanya bisa menangis ketika bayamku dipermainkan iklan,
ketika wortelku diledek ‘kampungan’,
ketika brokoliku kalah pamor dengan brokoli dari negeri jauh.

Sayuran berdasi itu…
mereka bahkan lupa asalnya.
Mereka lupa dulu aku yang memungut bijinya,
aku yang merawatnya dari hama,
aku yang menyelamatkannya dari kekeringan.

Tapi sekarang?
Mereka duduk di kantor dingin ber-AC,
mereka selfie dengan petani sesekali,
untuk kampanye down to earth.
Mereka pamer hijau, pamer peduli,
sementara aku sibuk menghitung hari:
esok makan apa? Besok pupuk dari mana?

Sungguh lucu,
ketika bayam harus punya cerita romantis,
seperti novel cinta picisan:
“Bayam ini dipetik saat matahari pertama menyapa.”
“Bayam ini dipeluk oleh embun suci pagi.”
Padahal aku cuma tahu,
bayam ini aku petik supaya bisa beli beras.

Ironi yang pedih,
ketika yang menangis adalah aku,
bukan sayuran berdasi itu.

Bayangkan, bayangkan:
dulu pasar ramai,
ibu-ibu datang, menawar ramah.
Sekarang?
Semua ke supermarket,
mencari sayuran yang bisa difoto.

Apakah aku harus mengikat dasi pada bayamku?
Apakah wortelku harus pakai parfum impor?
Apakah brokoliku harus dilatih senyum di rak pendingin?

Aku bertanya pada langit:
mengapa petani kecil selalu ditinggal?
Mengapa petani kecil selalu jadi lelucon pasar?

Raka, anakku,
aku tahu kamu sayang Ayah,
tapi dunia tempatmu bekerja
bukan dunia tempat Ayah bercocok tanam.

Dunia Ayah adalah:
tanah, air, matahari, dan peluh.
Dunia mereka adalah:
logo, slogan, endorsement, dan viral.

Kadang aku ingin tertawa,
melihat bayam diiklankan sebagai
penyembuh luka hati.
Padahal aku tahu,
bayam hanya mampu mengisi perut lapar.

Kadang aku ingin menangis,
melihat wortel dibungkus mewah,
dengan pita emas,
seolah dia sang pangeran.
Padahal dia tumbuh di sini,
di ladangku yang sepi.

Kadang aku ingin berteriak:
“Hai, pembeli kota!
Lihatlah ke sini!
Sayuranmu lahir dari tanganku!
Bukan dari laboratorium, bukan dari kamera!”

Tapi siapa yang mau dengar?
Mereka sibuk scroll TikTok,
sibuk swipe Instagram,
sibuk cari promo sayur glowing.

Hingga satu hari,
datanglah pemuda itu.
Dia bilang,
“Pak, saya mau beli langsung dari sini.”

Hatiku,
yang sudah lama beku,
mencair.

Satu pemuda,
lebih berharga dari seribu iklan.
Satu pembeli jujur,
lebih bernilai dari sejuta kata-kata bohong.

Aku ingin berkata pada semua orang:
kembalilah ke tanah.
Kembalilah ke asal.
Kembalilah ke tangan-tangan yang menanam
bukan hanya tangan-tangan yang menjual.

Sayuran berdasi,
kau boleh sombong,
kau boleh viral,
tapi kau tak bisa bohongi tanah.
Karena tanah tahu siapa yang bekerja,
siapa yang hanya ikut pesta.

Raka, anakku,
ketika kau pulang,
aku tak minta kau membawa dasi untuk bayamku.
Aku hanya minta,
bantu aku menyapa dunia,
dengan kejujuran,
dengan sederhana.

Karena esok lusa,
orang-orang akan sadar,
perut kenyang tak butuh drama,
tapi butuh makanan nyata.

Sayuran berdasi,
tertawalah sesukamu,
dansa-dansalah di rak dingin supermarket,
pose-pose lah untuk kamera influencer.

Tapi ingat,
pada akhirnya,
yang akan bertahan
adalah tanah,
adalah petani kecil,
adalah bayam seadanya,
adalah wortel sederhana,
adalah brokoli apa adanya.

Petani menangis hari ini,
tapi esok lusa,
bisa jadi mereka yang tertawa.
Karena orang kota akhirnya
akan mencari yang nyata,
bukan hanya yang bergaya.


Pesan Pembelajaran:
Dalam dunia yang sibuk dengan citra,
dengan kemasan,
dengan branding,
jangan lupa:
akar kehidupan adalah kesederhanaan.
Petani kecil mungkin tak viral,
tapi merekalah yang menopang
piring-piring di meja makanmu.

Jangan lupakan mereka.
Jangan lupakan tanah.
Jangan lupakan asal usul makananmu.

Karena ketika sayuran mulai berdasi,
dan petani mulai menangis,
itu tanda
dunia sudah kehilangan arah.


Post a Comment

0Comments

🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!

📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!

💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!

🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱

📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!

💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.

— Tim Wortelkenesia 🥕

Post a Comment (0)