Dewan Kentang: Lembek Tapi Banyak Bicara
Di suatu negeri subur bernama Ladang Segar, segala jenis sayuran hidup damai: wortel, tomat, buncis, kubis, bayam, bahkan si bawang yang terkenal suka bikin drama air mata. Namun, pemimpin tertinggi di sana bukan wortel yang tegak, bukan kubis yang tebal, bukan tomat yang merah menyala. Pemimpin mereka adalah… kentang.
Tepatnya, Dewan Kentang.
Mereka duduk manis di Balai Daun Pisang, kursi-kursi terbuat dari batang jagung, meja bulat dari anyaman rumput teki, dengan lampu bohlam yang dihidupi kunang-kunang setiap malam. Ada enam kentang duduk di sana, dengan ukuran berbeda-beda, dari Kentang Jumbo sampai Kentang Imut.
Dan, seperti biasa, rapat mereka tidak pernah selesai-selesai.
Hari itu, rapat dibuka oleh Kentang Ketua, yang berdiri di ujung meja sambil membaca naskah pidatonya.
“Teman-teman sayuran,” ujarnya dengan suara menggetar, “hari ini kita berkumpul untuk membahas isu besar: apakah kita harus mengecat ulang pagar ladang?”
Wortel, yang duduk di bangku penonton, hampir jatuh pingsan.
“Kita sudah bahas ini tiga musim!” bisiknya pada Bawang Merah.
Bawang Merah hanya menghela napas, air matanya menetes bukan karena emosi, tapi karena memang itulah sifatnya.
“Kalau pagar aja gak selesai, gimana mau bahas pemupukan organik?”
Di meja dewan, Kentang Imut mengacungkan tangan.
“Saya rasa, pagar sekarang warnanya kurang estetik. Hijau lumut terlalu… klasik. Bagaimana kalau pastel?”
Kentang Jumbo tertawa terbahak.
“Pastel? Itu warna makanan, bukan pagar!”
Kentang Tengah, yang selalu merasa dirinya paling bijak, mengangguk-angguk pelan.
“Kita butuh komite kecil untuk membahas warna pagar. Jangan terburu-buru memutuskan. Kita harus mengkaji, meneliti, melakukan survei, wawancara, dan mendengarkan pendapat publik.”
Kentang Ketua tersenyum bangga.
“Setuju! Kita bentuk Komite Pemilihan Warna Pagar.”
Sementara itu, di sudut ladang, para sayuran lain saling memandang. Bayam bergumam,
“Kita butuh air lebih banyak, daun-daun kita mulai menguning.”
Buncis menimpali,
“Hama ulat makin banyak. Kenapa gak itu yang dibahas?”
Kubis hanya mendesah, melipat daunnya rapat-rapat.
“Percuma, dewan kentang lembek semua. Mereka cuma banyak bicara.”
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Komite Pemilihan Warna Pagar belum juga menghasilkan keputusan. Mereka sibuk berdebat soal tren warna, sampai mendatangkan Konsultan Daun Jati dari ladang sebelah. Biaya konsultan? Tentu diambil dari persediaan pupuk yang harusnya buat para sayuran lain.
Semakin lama, ladang mulai kacau. Rumput liar tumbuh, hama menyerang, hujan tak tertampung dengan baik karena saluran air mampet. Namun Dewan Kentang masih sibuk…
“Malam ini kita voting: pastel atau biru langit,” seru Kentang Ketua.
Wortel akhirnya tak tahan, maju ke podium.
“Dewan terhormat, boleh saya bicara?”
Kentang Ketua tersenyum, “Tentu, silakan. Kami terbuka untuk aspirasi.”
Wortel berdiri tegak, matanya menatap semua kentang.
“Kalian ini lembek. Banyak bicara, tapi tak ada satu pun keputusan yang menyentuh masalah utama ladang kita. Tanaman menguning, hama menggila, air tersumbat. Sementara kalian sibuk… warna pagar?”
Kentang Jumbo tersinggung.
“Hati-hati bicara! Kami mewakili semua sayuran.”
Kubis berdiri mendampingi Wortel.
“Kalau mewakili, kenapa suara kami tak pernah didengar?”
Buncis, Bayam, Tomat, bahkan Bawang ikut berdiri. Suasana rapat memanas.
Kentang Tengah mencoba menenangkan.
“Baik, baik. Kita bentuk panitia baru untuk mendengar keluhan kalian.”
Wortel menggeleng.
“Bukan panitia baru yang kami butuh. Kami butuh aksi nyata. Sekarang juga.”
Dewan Kentang pun terdiam. Untuk pertama kalinya, mereka sadar: selama ini mereka lebih sibuk bicara, membentuk komite, rapat demi rapat, tanpa menyentuh masalah utama.
Akhirnya, pada pagi yang cerah, ladang mulai bergerak. Kentang Jumbo ikut mengangkut batu untuk memperbaiki saluran air. Kentang Imut membantu Bawang menanam ulang bibit baru. Kentang Tengah belajar memupuk tanah bersama Bayam.
Semua sayuran bekerja sama, tanpa perlu rapat panjang. Pagar? Tetap hijau lumut. Tapi tak ada yang peduli, karena ladang kembali subur, hijau, dan harum.
Pesan Pembelajaran:
Dalam hidup, kita sering terjebak dalam rapat, diskusi, atau debat panjang yang tak membawa aksi nyata. Bicara penting, tapi lebih penting lagi adalah tindakan. Pemimpin sejati bukan yang hanya pandai berbicara, tapi yang berani turun tangan, membantu, dan bekerja bersama.
Dewan Kentang mengajarkan kita bahwa tidak apa-apa menjadi lembek asal mau bergerak. Namun, kalau cuma bicara tanpa bergerak, bahkan sayuran pun akan bosan mendengarkan.
Jadi, mari belajar dari ladang ini: jika ada masalah nyata di sekitar kita, jangan hanya sibuk rapat. Bergeraklah! Satu tindakan kecil jauh lebih berarti daripada seribu kata kosong.
Dialog
[Balai Daun Pisang, malam hari. Lampu kunang-kunang menyala, para sayuran berkumpul. Enam kentang duduk melingkar di meja. Wortel, Bayam, Tomat, Bawang, Kubis, dan Buncis duduk di bangku penonton.]
Kentang Ketua:
“Teman-teman sayuran, malam ini kita kembali berkumpul untuk membahas isu penting: apakah pagar ladang kita perlu dicat ulang?”
Kentang Imut:
“Saya sudah bilang dari dulu, pagar hijau lumut itu… ya ampun, kuno sekali. Saya pikir pastel akan lebih kekinian. Lembut, segar, Instagrammable!”
Kentang Jumbo:
“Hah! Pastel? Itu warna kue, bukan warna pagar! Kita butuh warna gagah, seperti biru langit atau oranye cerah.”
Kentang Tengah (bijak-bijakan):
“Teman-teman, mari kita tidak terburu-buru. Kita bentuk komite pemilihan warna pagar. Kita perlu survei, penelitian mendalam, dan mendengarkan semua pendapat. Setuju?”
Kentang Ketua:
“Setuju! Baik, kita bentuk komite khusus. Siapa mau jadi ketua komite?”
Kentang Imut:
“Aku mau! Aku sudah punya katalog warna lengkap dari majalah daun muda!”
Kentang Jumbo:
“Jangan main-main, Imut! Ini urusan serius!”
Wortel (duduk di bangku penonton, berbisik ke Bawang):
“Ya ampun, mereka sudah bahas ini tiga musim. Pagar nggak dicat-catat.”
Bawang Merah (air mata meleleh):
“Sedih banget ya. Sementara itu ladang kita penuh hama, daun bayam mulai kering, pupuk makin menipis…”
Bayam (mendekat, ikut berbisik):
“Kita perlu air lebih banyak, saluran air sudah mampet. Kenapa nggak itu yang dibahas di dewan?”
Kubis (melipat daun, mendengus):
“Percuma, kubis bicara pun tak akan didengar. Mereka lembek semua.”
Buncis (mengangguk):
“Lembek tapi kalau ngomong, panjang sekali!”
[Di meja dewan, diskusi makin memanas.]
Kentang Jumbo:
“Dengar, menurutku pagar biru langit itu simbol kemajuan! Kalau pastel, kesannya kekanak-kanakan!”
Kentang Imut:
“Kekanak-kanakan? Maaf, ya! Justru pastel menunjukkan kemodernan, lembut, ramah mata!”
Kentang Tengah:
“Ssst, tenang. Kita butuh pendapat ahli. Kita panggil Konsultan Daun Jati dari ladang sebelah, ya?”
Kentang Ketua:
“Setuju! Kalau perlu, kita pakai dana pupuk buat biaya konsultasi.”
[Wortel berdiri, mengacungkan tangan.]
Wortel:
“Dewan terhormat, boleh saya bicara?”
Kentang Ketua:
“Tentu, tentu, kami terbuka untuk semua aspirasi. Silakan, Wortel.”
Wortel:
“Maaf sebelumnya, tapi… kalian ini sibuk bicara pagar, warna pagar, komite pagar… Sementara hama menyerang, air mampet, pupuk habis. Kenapa itu tidak dibahas?”
Kentang Jumbo (menepuk meja):
“Wortel, hati-hati bicara! Kami bekerja keras, tahu!”
Kentang Imut (menyeletuk):
“Iya, rapat ini capek, lho!”
Kubis (berdiri mendampingi Wortel):
“Kalau memang kalian bekerja keras, mana hasilnya? Kami para sayuran di lapangan nggak merasakan apa-apa.”
Bayam (ikut maju):
“Daun-daun kami mulai menguning. Butuh air! Kenapa dewan sibuk warna pagar?”
Buncis:
“Dan pupuk? Pupuk kita makin tipis. Konsultan mahal itu dibayar pakai apa, coba?”
Bawang Merah (menangis tersedu):
“Saya… saya cuma mau bilang… aku capek nangis terus… ladang ini butuh diperbaiki… hu hu hu…”
Tomat (mengusap Bawang):
“Sudah, Bawang… ayo kita sampaikan semua unek-unek kita.”
[Dewan Kentang saling melirik, mulai gelisah.]
Kentang Tengah:
“Teman-teman, mari kita bentuk panitia baru untuk mendengar semua keluhan ini. Kita bisa rapatkan lagi minggu depan.”
Wortel (menggeleng keras):
“Bukan panitia baru yang kami mau! Kami mau tindakan! Sekarang juga!”
Kubis:
“Iya! Saluran air harus dibersihkan, pupuk harus dibagikan, hama harus diatasi!”
Bayam:
“Ayo, siapa yang mau ikut turun ke ladang sekarang?”
Buncis:
“Kami siap kerja. Kalau kalian cuma mau rapat, ya, silakan duduk di sini terus.”
[Suasana hening. Kentang Ketua berdiri, wajahnya pucat.]
Kentang Ketua:
“Baiklah… mungkin… mungkin selama ini kami terlalu sibuk bicara… Kita harus bergerak.”
Kentang Jumbo (berdiri perlahan):
“Hmm… aku bisa bantu angkut batu untuk memperbaiki saluran air.”
Kentang Imut (mengangkat tangan pelan):
“Aku… aku bisa bantu menyiapkan bibit baru bersama Bawang.”
Kentang Tengah (menghela napas panjang):
“Aku… aku bisa ikut pupuk tanah dengan Bayam.”
[Semua sayuran mulai tersenyum. Wortel mengangguk, Kubis menepuk bahu Kentang Ketua.]
Wortel:
“Itu baru namanya pemimpin.”
Kubis:
“Akhirnya kalian lembeknya berguna juga!”
Kentang Ketua (tersenyum malu):
“Kami memang lembek… tapi kami akan belajar bergerak.”
Bawang Merah (menyeka air mata):
“Huhuhu… terharu… akhirnya kita bekerja sama…”
Tomat:
“Ayo, semua. Kita mulai besok pagi!”
Kentang Jumbo:
“Tidak! Kita mulai sekarang!”
[Semua sayuran serempak: “YEAH!”
Malam itu, para kentang ikut turun ke ladang. Mereka mengangkut batu, mencangkul saluran air, membagi pupuk. Para sayuran lain ikut bekerja, saling membantu. Lampu kunang-kunang menyala terang, menerangi semangat baru yang muncul di Ladang Segar.
[Menjelang pagi, di pinggir ladang.]
Wortel:
“Kalian tahu? Aku pikir kita nggak butuh pagar baru.”
Bayam:
“Setuju. Pagar lama pun sudah cukup.”
Kentang Ketua (tersenyum lebar):
“Yang penting, kita nggak lembek bicara saja. Tapi juga lembek bekerja bersama.”
Buncis (tertawa):
“Lembek kalau rame-rame, jadi kuat!”
Bawang Merah (menangis haru):
“Ini… ini… momen terindah… hu hu hu…”
[Matahari terbit, cahaya menyinari ladang yang mulai kembali hijau, segar, dan penuh harapan.]
Puisi
Puisi Satir Monolog
Judul: Dewan Kentang: Lembek Tapi Banyak Bicara
Penulis: Pengembara Ladang – Jeffrie Gerry (Japra)
Hai!
Aku Kentang Ketua,
seonggok umbi berbaju tanah,
ditakdirkan duduk di kursi empuk
Balai Daun Pisang,
tempat kami membahas
pagar yang mengelupas.
Hei, kalian pikir kami cuma kentang rebus?
Jangan salah!
Kami kentang terhormat,
dipilih, dipuji,
dihormati di ladang-ladang sayuran ini.
Kami bukan sembarang kentang —
kami Dewan Kentang!
Kami duduk melingkar,
membahas warna pagar yang katanya
“harus pastel biar Instagrammable,”
atau “biru langit biar terkesan gagah,”
sementara daun bayam menguning,
saluran air mampet,
hama berdansa di atas kubis,
dan pupuk?
Ah, pupuk makin tipis,
makin tipis seperti kesabaran para sayuran.
Hei, Wortel, kamu teriak apa?
“Kenapa tak bahas ladang yang krisis?”
Ah, maaf, Wortel,
kami sedang sibuk membentuk
Komite Pemilihan Warna Pagar.
Hei, Bayam, kamu melambaikan daun?
“Air kami tak cukup, ayo turun tangan!”
Hmm, sebentar, Bayam,
kami harus memanggil Konsultan Daun Jati
untuk mendengar pendapat ahli soal cat pagar.
Bawang,
jangan menangis lagi!
Air matamu membasahi rapat ini.
Kami janji akan membentuk
Panitia Baru Keluhan Sayuran.
Tunggu saja rapat minggu depan.
Atau bulan depan.
Atau tahun depan?
Ah, lihat saja nanti.
Aku, Kentang Ketua,
punya suara yang lantang
meski tubuhku lembek,
punya janji yang manis
meski langkahku pelan,
punya ide brilian
meski tak satu pun dikerjakan.
Kami kentang,
lembek tapi banyak bicara.
Kami kentang,
kalau rapat bisa sampai pagi.
Kami kentang,
kalau putuskan satu hal,
butuh tujuh rapat, lima komite,
dan tiga konsultan.
Tapi hei,
malam ini ada yang berbeda.
Wortel berdiri,
kubis mendampingi,
bayam melambaikan daun,
bawang menangis lebih keras,
buncis melotot galak,
tomat mengelus pundak semua.
Mereka bilang,
“Sudah cukup bicara!
Turun sekarang juga!
Kami butuh tindakan,
bukan rapat, bukan janji,
bukan komite tambahan!”
Aku tercekat.
Apa?
Kentang Ketua?
Turun tangan?
Menggali tanah?
Mengangkut batu?
Memperbaiki saluran air?
Bagaimana bisa?
Aku ini kan — kentang dewan!
Tapi lihat…
mata mereka menyala-nyala.
Kami…
kami tak bisa menolak.
Kentang Jumbo pelan berdiri,
“Baiklah, aku angkut batu.”
Kentang Imut mengangkat tangan,
“Baiklah, aku siapkan bibit bersama Bawang.”
Kentang Tengah menarik napas panjang,
“Baiklah, aku tabur pupuk bersama Bayam.”
Dan aku, Kentang Ketua?
Dengan gemetar,
kubilang:
“Ayo, kita mulai sekarang!”
Malam itu,
untuk pertama kalinya,
Dewan Kentang tidak bicara kosong.
Kami turun ke ladang,
kami cangkul tanah,
kami bersihkan air,
kami tabur pupuk,
kami ambil risiko
meski tubuh lembek,
meski tangan gemetar.
Wortel tersenyum,
Kubis mengangguk,
Bayam bernyanyi pelan,
Bawang menangis haru,
Tomat menari kecil,
Buncis berteriak:
“Akhirnya, kentang turun tangan!”
Lalu fajar datang,
matahari mencium ladang
dengan cahaya keemasan.
Daun yang layu mulai segar,
tanah yang kering mulai lembap,
hama pun perlahan kabur,
pupuk kembali meresap.
Dan aku berdiri di pinggir ladang,
melihat semuanya,
merasakan sesuatu
yang belum pernah kurasa:
inilah kerja nyata.
Bukan rapat panjang,
bukan komite kosong,
bukan konsultan mewah,
tapi gerak bersama.
Aku, Kentang Ketua,
akhirnya sadar:
lembek itu tak apa-apa,
asal lembeknya bergerak.
Bicara itu penting,
tapi bicara yang melahirkan kerja.
Hei, kawan pembaca,
dengarkan aku,
si kentang dari ladang fiktif ini:
Di ladang mana pun,
di dunia mana pun,
jangan biarkan pemimpinmu
cuma jago bicara,
cuma lihai berjanji,
cuma pintar rapat.
Pemimpin harus turun tangan.
Pemimpin harus berkotor-kotor.
Pemimpin harus menggaruk tanah,
mengangkat batu,
menyentuh masalah nyata,
bukan cuma sibuk di panggung pidato.
Dan untuk kalian, para rakyat sayuran,
jangan diam saja!
Teriaklah!
Doronglah pemimpinmu!
Karena kadang mereka lupa
kalau tugas mereka bukan menghias pagar,
tapi menjaga ladang tetap subur.
Kadang mereka lupa
kalau rakyat bukan sekadar penonton
di bangku rapat,
tapi saudara seperjuangan
yang layak didengar.
Kadang mereka lupa
kalau rapat panjang
tanpa aksi
hanya menguap
seperti kabut pagi.
Aku, Kentang Ketua,
mengaku di hadapanmu,
aku memang lembek,
tapi malam itu,
aku belajar menjadi kuat
karena kalian semua
mengguncangku,
mengajakku,
menarikku keluar
dari lingkaran omong kosong.
Dan untuk itu,
aku berterima kasih.
(Penutup)
Jadi, wahai pembaca,
kalau nanti kau melihat kentang,
jangan hanya pikir:
“Ah, kentang lembek.”
Karena siapa tahu,
kentang itu sedang belajar menjadi kuat.
Kalau nanti kau melihat rapat panjang,
jangan hanya bilang:
“Ah, mereka bicara kosong.”
Karena siapa tahu,
mereka sedang diingatkan
untuk akhirnya bergerak.
Kalau nanti kau memimpin,
ingatlah ladangmu.
Ingat air, pupuk, hama,
bukan cuma warna pagar.
Dan kalau kau jadi rakyat,
jangan ragu bersuara.
Karena tanpa suara kalian,
kami para pemimpin
akan terus sibuk
membahas pagar pastel
sementara ladang terbakar.
🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!
📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!
💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!
🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱
📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!
💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.
— Tim Wortelkenesia 🥕