Duku Rapuh: Dilema Buah Kecil di Tengah Buah Besar

Jeffrie Gerry
0

 


Duku Rapuh: Dilema Buah Kecil di Tengah Buah Besar

“Aku kecil, tapi bukan berarti aku tak punya rasa.”
– Duku dalam diamnya


Pendahuluan: Antara Manis yang Tak Tersorot dan Rapuh yang Disalahpahami

Di pojok keranjang, terselip duku.
Kecil. Bulat. Diam.
Tidak ada yang memujinya dengan mata berbinar seperti melihat mangga.
Tidak ada yang berebut selfie dengannya seperti stroberi.
Tidak ada yang pingsan karena baunya seperti durian.

Tapi duku hadir.
Dengan manis yang sederhana.
Dengan kulit rapuh yang mudah mengelupas.
Dengan isi yang kadang pahit, kadang menyentuh.

Dalam dunia buah-buahan, duku seolah mewakili kita yang sering tak dianggap, yang tak masuk panggung utama, tapi setia menjaga rasa di balik layar.

Artikel ini bukan sekadar membahas buah, tapi tentang makna menjadi kecil di tengah yang besar, menjadi rapuh tapi tetap memberi rasa, menjadi duku di dunia yang ramai oleh durian, mangga, dan buah besar lainnya.


Bab 1: Duku dan Realita Kehidupan Sosial

Duku seperti anak bungsu yang tak bersuara.
Tumbuh di antara keluarga besar buah yang sombong.
Tak punya kulit tebal seperti salak.
Tak harum mencolok seperti jeruk.
Tak besar menggoda seperti semangka.

Ia tahu dirinya kecil. Tapi ia juga tahu:

Rasa tidak diukur dari ukuran. Kelezatan tidak bergantung pada suara.

Seperti kita yang sering tak dilirik dalam rapat, tak disebut di panggung penghargaan, tak dipanggil saat sesi foto bersama. Tapi kita tetap hadir. Kita tetap kerja. Kita tetap memberi rasa.

Duku mengajarkan kita bahwa keberadaan tak selalu harus disorot. Terkadang, yang paling manis justru yang paling diam.


Bab 2: Rapuh Bukan Berarti Lemah

Kulit duku mudah hancur.
Sekali ditekan, langsung mengelupas.
Kadang menggigit terlalu keras, justru membuat dagingnya robek, dan rasa jadi campur pahit.

Tapi justru dari situ kita belajar:

  • Rapuh bukan berarti gagal.

  • Rapuh adalah bukti bahwa sesuatu butuh kelembutan.

Di dunia yang keras ini, rapuh seringkali dianggap aib.
Orang disuruh tahan banting, kuat mental, jangan baper.
Tapi siapa yang menjamin semua manusia bisa jadi durian?

Tidak semua harus keras untuk bertahan.
Kadang, yang rapuh itu justru yang paling butuh dijaga.

Duku memberi kita pelajaran tentang cara menyentuh hidup dengan hati-hati, menghargai yang rapuh, dan memperlakukan kelembutan dengan kasih.


Bab 3: Dilema Duku – Terlalu Kecil Untuk Diperhitungkan?

Coba perhatikan di supermarket.
Buah duku sering ditaruh di bagian pinggir.
Berserakan.
Tidak ada papan harga yang menarik.
Kadang bahkan disamakan dengan langsat (yang padahal berbeda rasa dan nasib).

Duku mengalami diskriminasi buah.

Ia tidak tampil di iklan minuman botol.
Ia tidak jadi rasa permen favorit anak-anak.
Ia tidak masuk daftar buah eksklusif yang dibawa ke luar negeri.

Padahal jika dikelola dengan baik, duku punya rasa khas: manis, sedikit asam, menggigit di ujung lidah.

Tapi dunia sering kali hanya melihat yang besar dan glamor.
Yang kecil, sederhana, dan diam… diabaikan.
Itulah dilema duku.
Dan itulah juga dilema banyak manusia hari ini.


Bab 4: Duku di Tengah Dunia Durian dan Mangga

Dalam dunia modern, orang berebut jadi “durian”:

  • Punya ciri khas kuat

  • Kontroversial tapi viral

  • Dicintai sekaligus dibenci

Lalu sebagian lainnya ingin jadi “mangga harum manis”:

  • Manis di lidah semua orang

  • Aman, diterima, dan laku di mana-mana

Tapi siapa yang ingin jadi “duku”?
Kecil, tanpa aroma mencolok, mudah dihancurkan.

Padahal duku punya satu kelebihan:
Ia diterima tanpa drama.
Ia tidak menyinggung siapa pun.
Ia tidak membuat gaduh, tapi menyatu.

Bukankah itu yang dunia butuh sekarang?
Sosok-sosok kecil yang tidak sibuk mencari sorotan, tapi hadir memberi rasa.


Bab 5: Duku, Kita, dan Keseharian yang Tak Dilihat

Lalu kita mulai sadar...
Bahwa kita sebenarnya adalah duku-duku yang berjalan.

  • Kita yang bangun pagi tanpa disorot kamera

  • Kita yang kerja keras tanpa ucapan terima kasih

  • Kita yang rapuh, tapi tetap memberi senyum

  • Kita yang tak besar, tapi tetap penting

Dalam setiap kantor, komunitas, keluarga,
selalu ada duku:
Yang sering tidak dihitung, tapi menjadi perekat.
Yang tak bersuara, tapi jadi penyelamat.

Dan dunia akan goyah jika semua duku pergi.
Karena tanpa yang kecil dan sederhana, hidup hanya penuh ego dan hiruk pikuk.


Bab 6: Rasa Duku dan Kebenaran dalam Kesederhanaan

Rasa duku tidak keras seperti jeruk,
tidak tajam seperti nanas,
tidak berat seperti alpukat.

Rasa duku adalah jujur:

  • Ia manis karena ia memang manis

  • Ia asam karena ia sedang begitu

  • Ia tidak pura-pura

Banyak manusia ingin dianggap manis,
tapi penuh kepalsuan.
Berpakaian santun, tapi lidahnya tajam.
Berdoa di publik, tapi menghina di kolom komentar.

Duku tak pandai pencitraan.
Tapi siapa pun yang memakannya tahu:
Rasanya bisa dipercaya.
Apa adanya.


Bab 7: Belajar dari Duku – Bertahan Tanpa Harus Membesar

Kini kita sadar,
bahwa hidup bukan perlombaan jadi besar.
Tapi jadi berguna.
Bukan adu viral, tapi adu makna.
Bukan soal siapa paling ramai, tapi siapa paling tulus.

Duku tetap bertahan,
meski tak masuk menu mewah hotel bintang lima.
Ia tetap tumbuh,
meski tak dijadikan simbol kekayaan.
Ia tetap dipanen,
meski tak disebut sebagai “superfood.”

Karena duku tahu,
yang penting bukan pengakuan, tapi ketulusan.


Bab 8: Refleksi – Apakah Kita Masih Mau Jadi Duku?

Di era yang memuja ukuran, suara, dan sorotan,
maukah kita tetap jadi duku?

  • Kecil, tapi berisi

  • Rapuh, tapi punya rasa

  • Tidak terkenal, tapi tetap bertahan

Atau kita lebih memilih jadi buah besar yang kosong di dalam?
Yang luar biasa di luar,
tapi hampa dan busuk di dalam?

Pertanyaan ini bukan untuk buah.
Tapi untuk kita semua.
Di setiap langkah hidup,
kita dihadapkan pada pilihan:
Tampil mencolok atau hadir bermakna.
Jadi besar tapi palsu, atau kecil tapi jujur.


Penutup: Duku Adalah Kita, Jika Kita Mau Jujur

Duku tidak sempurna.
Kadang isinya pahit.
Kadang bergetah.
Kadang ada biji yang terlalu besar.
Kadang tak manis seperti ekspektasi.

Tapi itulah hidup.
Tak selalu sesuai harapan.
Tak selalu menyenangkan.
Tapi tetap memberi rasa.

Duku mengajari kita bahwa:

  • Menjadi kecil bukan aib

  • Menjadi rapuh bukan kelemahan

  • Menjadi sederhana bukan kegagalan

  • Menjadi diri sendiri adalah kemewahan sejati

Jika kau merasa tak diperhitungkan,
ingatlah duku.
Karena kadang yang paling tak terlihat,
adalah yang paling mengisi.


Duku mungkin tak dilirik banyak orang.
Tapi saat kau butuh sesuatu yang manis di sela hari yang rumit, duku selalu ada.

Dan begitu juga denganmu.
Kamu mungkin bukan siapa-siapa.
Tapi kamu berarti.
Dan dunia diam-diam butuh kamu.


Penulis: Jeffrie Gerry (Japra)
Blog: Wortelkanesia
“Menulis dari pinggiran, menyentil dari pojokan, dan tetap berisi meski tak membesar.”

Duku Berkata: Aku Kecil, Tapi Bukan Tanpa Rasa

(Monolog oleh: Duku, buah yang dilupakan dunia)


Lihat aku,
si kecil yang sering kau sebut buah pinggiran,
tergeletak di ujung keranjang,
dilindas popularitas durian dan keharuman mangga.

Aku duku.
Bukan langsat, bukan kelengkeng,
apalagi buah rekayasa hasil perkawinan silang ala supermarket.
Aku murni. Aku lokal. Aku seadanya.

Katamu aku tak menggoda kamera,
kulitku tidak glossy, tidak “instagrammable”.
Kau bilang, “Ah, paling juga rasa tanggung.”
Tapi tahukah kau?
Yang paling jujur itu sering tidak fotogenik.


Di tengah buah besar yang suka bikin drama,
aku belajar menjadi pendiam.
Bukan karena tak punya cerita,
tapi karena setiap kali aku bicara,
selalu ada yang bilang,
"Sudahlah, kamu kan kecil, diam saja."

Aku diam.
Tapi bukan tanpa isi.

Aku diam.
Tapi dalam setiap gigitan padaku,
kau temukan rasa manis yang tak terlalu manja,
dengan sedikit getir sebagai pengingat bahwa
hidup tak perlu selalu manis untuk layak dinikmati.


Di pasar buah, aku sering dikecilkan,
secara harfiah dan metaforis.
Petugas SPG tak menawarkanku.
Anak kecil tak menjerit ingin padaku.
Artis tak menyebutku dalam vlog diet sehat mereka.

Aku duku.
Kecil, rapuh, tidak viral.
Dan itu membuatku lebih jujur
dari buah-buah lain yang terlalu sibuk jadi terkenal.


Lalu datanglah durian,
dengan kulit berduri dan aroma intimidatif,
berjalan seperti selebritas:
semua tahu dia, walau tidak semua suka.

Durian berkata,
"Aku rajanya buah."
Mangga berkata,
"Aku buah sejuta umat."
Pepaya berkata,
"Aku buah sehat penuh enzim."

Aku?
Aku tidak berkata-kata.
Karena aku tahu,
yang terlalu sering menyebut dirinya raja,
kadang lupa jadi rakyat.


Aku tahu aku bukan pusat perhatian.
Bahkan dalam hajatan desa pun,
aku hanya muncul sebagai “pengisi piring cadangan”.
Tak pernah jadi hantaran.
Tak pernah jadi rebutan.

Tapi diam-diam,
di tengah percakapan gosip keluarga,
akulah yang paling banyak dikupas.
Karena aku kecil,
dan mudah dibagi tanpa gaduh.

Bukankah itu indah?
Menjadi sesuatu yang tidak diperebutkan,
tapi tetap menenangkan.


Terkadang aku iri juga.
Lihatlah alpukat—dulu dianggap aneh,
sekarang jadi lambang gaya hidup urban.
Atau buah naga—yang dulu dianggap mitos,
sekarang tampil di semua smoothie bar mahal.

Sedangkan aku?
Masih dijual dalam plastik bening yang mengembun,
ditumpuk asal, ditimbang seperti tak punya harga.

Lucu ya?
Dunia ini lebih menghargai penampilan
daripada pengalaman rasa.


Aku rapuh.
Ya, aku tahu.
Kulitku bisa hancur hanya karena kau tekan sedikit.
Isi dagingku bisa terbelah,
kadang menyisakan pahit di sela gigi.

Tapi justru itu yang membuatku nyata.
Aku tidak menyembunyikan kelemahanku.
Aku tidak pura-pura kuat seperti apel merah mengilap
yang ternyata hasil lilin dan semir kimia.

Aku duku.
Aku rapuh,
tapi rasaku tidak palsu.


Kau tahu,
rapuh itu bukan cacat.
Rapuh itu cara lain berkata,
"Aku butuh kelembutan untuk bisa dinikmati."
Tapi sayangnya,
dunia ini sedang kekurangan tangan yang lembut.

Semua terburu-buru.
Semua ingin cepat, ingin instan.
Dunia ini tak sabar menghadapi yang rentan.
Padahal yang rentan itulah yang paling butuh cinta.


Aku sering bertanya:
Kenapa aku diciptakan kecil?
Kenapa aku tidak punya kulit eksotis seperti kiwi?
Kenapa aku tidak punya harum yang menusuk seperti jeruk bali?

Tapi semakin lama aku merenung,
semakin aku paham:
Tidak semua harus besar untuk berarti.
Tidak semua harus wangi untuk dikenang.

Kadang,
yang kecil itu justru mudah disimpan.
Yang rapuh itu justru mengajarkan kehati-hatian.
Dan yang diam itu—diam-diam menyembuhkan.


Di dunia ini terlalu banyak buah besar yang hanya menang di penampilan.
Banyak manusia juga begitu.
Berpakaian rapi, senyum merekah, kata manis.
Tapi begitu kau buka lapisannya,
penuh biji-biji kemunafikan dan serat kaku yang menyesakkan.

Aku tak sempurna.
Kadang aku juga asam.
Kadang aku susah dikupas.
Tapi aku tak pernah membohongi rasa.
Aku tak menjanjikan apa-apa,
tapi aku tetap hadir memberi rasa apa adanya.


Lihatlah mereka—
buah-buah besar,
yang tampil mewah dalam acara pesta kebun pejabat,
dalam piring perak dan latar instagramable.

Sedangkan aku?
Aku disajikan di atas piring melamin,
dengan pisau seadanya,
dan tangan-tangan bocah yang ingin menyuapi adik-adiknya.

Tapi tahu tidak?
Di momen sederhana itu,
akulah yang membawa tawa.
Bukan yang besar. Bukan yang sombong.

Kadang, kebahagiaan itu datang dari yang kecil,
yang tak dikira,
yang tak ditunggu.


Aku tahu,
zaman sekarang bukan zamanku.
Orang bicara tentang smoothie bowl, juice cleanse,
dan segala istilah gaya hidup sehat dari luar negeri.

Tak ada yang menyebut duku.
Tak ada yang bilang,
"Yuk, makan duku bareng."

Tapi tidak apa.
Karena aku tahu satu hal:
Aku kecil, tapi aku asli.
Aku rapuh, tapi aku jujur.
Aku tak viral, tapi aku bertahan.


Aku duku.
Aku tidak ingin jadi durian.
Aku tidak iri pada mangga.
Aku tidak marah pada stroberi.

Aku hanya ingin didengarkan,
sekali saja,
tanpa kau ukur ukuranku,
tanpa kau nilai kulitku.

Karena yang kutawarkan bukan kemegahan,
melainkan ketulusan.


Dan bukankah itu yang paling langka hari ini?
Sesuatu yang kecil, rapuh,
tapi jujur dan tulus.


Salam manis sedikit asam, dari buah kecil yang bosan diremehkan.



Ditulis oleh: Jeffrie Gerry (Japra)
Blog: Wortelkanesia


Post a Comment

0Comments

🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!

📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!

💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!

🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱

📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!

💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.

— Tim Wortelkenesia 🥕

Post a Comment (0)