Markisa Melamun: Mimpi Buah Lokal Mendunia

Jeffrie Gerry
0

 


Markisa Melamun: Mimpi Buah Lokal Mendunia

"Aku hanya ingin dikenal bukan karena eksotis, tapi karena tulus."
— Markisa, sambil melamun di bawah jendela swalayan


Pendahuluan: Mimpi di Balik Kulit Kasar

Pernahkah kau memperhatikan buah markisa?
Kecil, berbintik, berkerut, dan… nyaris tidak dipajang di bagian buah mewah.

Ia bukan yang dicari para wisatawan.
Bukan pula langganan permen rasa-rasa.
Ia bukan mangga yang harum, bukan stroberi yang menggoda.
Tapi coba belah, dan kau akan menemukan dunia yang asing namun memikat.

Markisa adalah buah yang menyimpan kesegaran dalam keheningan.
Ia tidak bicara banyak. Tapi ia tahu rasanya menyegarkan siapa pun yang mau jujur menggigitnya.

Di sinilah kita memulai cerita ini: tentang markisa yang melamun.
Melamun tentang dunia yang tidak adil.
Melamun tentang harapan buah lokal untuk dikenal dunia.
Melamun tentang hidup yang manis di balik kulit yang keras.


Bab 1: Si Bintik-Bintik dari Pegunungan

Markisa lahir di dataran tinggi.
Dingin, sunyi, jauh dari keramaian kota.
Ia tak dibesarkan di kebun komersil dengan sistem irigasi tetes berteknologi Jepang.
Ia tumbuh dari tangan petani tua yang percaya bahwa tanah itu harus diajak bicara.

Markisa tak pernah sekolah,
tapi ia tahu cara menyerap matahari dan menyimpan rasa.
Ia tak punya akun media sosial,
tapi sekali saja kau mencicipinya, lidahmu akan mengingat rasa itu selamanya.

Namun sayangnya, dunia tak selalu memberi panggung pada yang jujur.
Markisa pun tertinggal. Tertutup bayang-bayang buah impor yang dibungkus plastik elegan.

“Kenapa aku dilupakan?”
tanyanya suatu sore saat angin membawa aroma jeruk California dari swalayan kota.


Bab 2: Mimpi Kecil dari Buah Lokal

Setiap buah pasti punya mimpi.
Mangga ingin jadi gelato.
Durian ingin jadi bakpia.
Jeruk ingin jadi vitamin C kemasan.

Markisa juga punya mimpi.
Sederhana saja: ingin dikenal, dihargai, dan disapa dengan namanya.

Bukan disebut "itu loh, buah asem yang bijinya kayak alien."
Bukan juga "buah yang cocoknya jadi sirup doang."

Markisa ingin tampil utuh.
Diperlakukan setara.
Dipilih bukan karena diskon, tapi karena rasa.

Tapi... bagaimana bisa mimpi itu terwujud, jika yang menanamnya pun meragukannya?
Petani memetik dengan enggan.
Pedagang menyusun tanpa cinta.
Dan pembeli hanya memilih karena kepepet stok.

Markisa pun melamun lebih dalam.


Bab 3: Di Pinggiran Etalase

Kau bisa temukan markisa di supermarket — kalau beruntung.
Biasanya di pojok bawah, dekat rak sawo atau nangka.
Tak diberi pencahayaan istimewa.
Tak diberi label “organik” padahal ia lebih murni dari buah impor mana pun.

Ia hanya diletakkan, menunggu disentuh.
Ditunggu-tunggu pun tidak.

Sementara stroberi di sebelahnya dipotret, dibagikan, di-mention oleh influencer.
Markisa diam.
Tapi dalam diamnya, ada ledakan rasa yang tak tertuliskan.

"Kalau saja dunia memberi kesempatan pada rasa,
bukan semata rupa,
mungkin aku bisa mengubah pikiran mereka,"
pikir markisa dalam hatinya yang penuh vitamin C.


Bab 4: Manusia dan Mimpi yang Sama

Aneh memang.
Saat menulis ini, aku sadar:
Kita semua adalah markisa yang melamun.

Kita yang tak punya banyak sorotan.
Kita yang tumbuh dari tempat biasa, bukan dari bibit unggul luar negeri.
Kita yang tak dilabeli “spesial”, tapi menyimpan nilai dalam diam.

Kita yang bekerja diam-diam.
Yang mencintai tanpa dipuji.
Yang berdoa tanpa dijual ke media.

Kita tahu rasanya ingin dikenal,
bukan karena sensasi,
tapi karena ketulusan.

Markisa hanya buah,
tapi ia mewakili banyak dari kita:
Yang kecil, tapi menyimpan isi besar.
Yang asing, tapi menyegarkan.


Bab 5: Melawan Nasib di Tengah Produk Global

Markisa pernah berandai:

"Seandainya aku dikemas dengan plastik bening berlogo mahal..."
"Seandainya aku diberi stiker kecil bertuliskan 'Passionfruit'..."
"Seandainya namaku diubah jadi lebih kekinian, mungkin aku tak dianggap remeh..."

Ia tidak tahu bahwa dunia buah pun sudah tersentuh branding.
Buah yang sama bisa dihargai 10x lipat hanya karena label impor.

Markisa, yang dulu bangga disebut lokal, kini mulai bingung.
Apakah tetap jujur dan seadanya,
atau ikut berdandan agar dilirik?

“Apa artinya dikenal jika harus berpura-pura?”
bisik markisa kepada bayangannya sendiri di etalase kaca.


Bab 6: Rasa yang Tak Butuh Filter

Salah satu hal yang membuat markisa istimewa adalah: rasanya asli.
Asam segar.
Sedikit manis.
Menggigit.
Tak bisa dimanipulasi oleh pewarna atau pengawet.

Rasanya tidak bisa dipalsukan.
Karena terlalu unik untuk ditiru.

Dan itu pelajaran besar:
Ketika dunia sibuk membuat rasa buatan,
markisa tetap setia pada keasliannya.

Ia mengajarkan kita untuk berani jadi diri sendiri, meski harus menunggu lebih lama untuk dipahami.


Bab 7: Harapan Itu Bernama Anak Muda

Beberapa waktu lalu, seorang anak muda membeli 5 kg markisa dari pasar tradisional.
Ia membuatnya jadi selai, sirup alami, dan salad tropis.
Ia tak jual di marketplace besar.
Ia hanya bagikan resep dan cerita di media sosial.

Tak disangka, banyak yang mulai bertanya:
“Ini buah apa sih?”
“Kenapa rasanya beda banget dan seger?”

Dari situlah perlahan markisa mulai dikenal bukan karena kemasan,
tapi karena cerita.
Bukan karena iklan,
tapi karena pengalaman.

Kadang, mimpi tak butuh modal besar.
Cukup satu orang yang benar-benar percaya.


Bab 8: Mimpi Markisa Mendunia Bukan Mustahil

Hari ini, markisa masih melamun.
Tapi lamunannya tak lagi suram.

Ia mulai melihat secercah cahaya:

  • Dari petani yang kembali bangga menanamnya

  • Dari pasar kecil yang mulai memberi rak khusus

  • Dari wirausaha lokal yang mengubahnya jadi produk membanggakan

Ia tak ingin jadi buah global karena mengekor.
Ia ingin dikenal dunia karena otentik, segar, dan bersahaja.

Dan kau tahu apa yang indah?

Dunia yang penat ini sedang lelah pada kesempurnaan palsu.
Dunia sedang haus akan yang alami.
Dan di sanalah markisa menunggu — dengan sabar dan rasa.


Penutup: Jangan Hanya Lihat Kulitnya

Markisa mengajarkan kita satu hal:
Jangan nilai dari kulitnya.
Karena kulit bisa menipu.
Karena isi adalah segalanya.

Begitu pun hidup.
Jangan buru-buru menilai seseorang dari bintik-bintiknya, kerutannya, atau dari betapa asing ia terlihat.

Kadang, orang yang paling tidak kau lirik,
adalah yang bisa menyegarkan hidupmu.
Seperti markisa.
Yang melamun, tapi penuh harapan.
Yang kecil, tapi berani bermimpi besar.


"Beri aku satu gigitan saja,
dan aku akan beri kau rasa yang tak bisa dilupakan."

– Markisa, buah lokal yang tak mau menyerah


Penulis: Jeffrie Gerry (Japra)
Blog: Wortelkanesia
Menulis buah sebagai cermin hidup, agar manusia tak lupa rasa.


 

Markisa yang Melamun di Rak Paling Bawah

(Monolog satu-satunya oleh: Aku, buah markisa. Si kesepian yang penuh rasa)


Aku markisa.
Bukan jeruk mandarin.
Bukan buah naga berwarna merah nyentrik.
Aku tidak dibungkus plastik bening.
Tidak diberi label: import, organik, atau premium.
Aku hanya… diriku sendiri.
Dan rupanya, itu terlalu sederhana untuk dunia yang rumit ini.


Lihat aku,
berbaring di rak swalayan bagian bawah.
Dekat sawo yang sedang mati-matian bertahan,
dijepit semangka dan salak yang sedang diskon.

Aku tidak protes.
Aku hanya melamun.
Bertanya dalam diam,
kenapa aku tak pernah jadi pilihan pertama?
Padahal aku punya rasa…
yang bisa menyentak kesadaran manusia tentang hidup yang segar dan tidak palsu.


Kau tahu,
orang-orang datang ke swalayan dengan daftar belanja.
Tapi tidak satupun mencantumkan aku.
Karena aku tidak viral.
Aku tidak trending di TikTok.
Aku tidak pernah ikut tantangan #BuahCantikChallenge.

Aku hanya markisa.
Kecil, kusam, berkerut.
Kata anak muda, tidak worthy untuk difoto.

Tapi kau tahu apa yang menyakitkan?
Aku tidak jelek.
Aku hanya tidak memenuhi standar visual algoritma.
Dan dunia sekarang menilai rasa dari foto.


Aku lahir di lereng gunung,
dipetik oleh tangan tua yang tidak pernah selfie.
Aku tumbuh dalam tanah yang tidak dijadikan konten edukasi pertanian.
Dan air yang menyiramku tidak difilter,
tapi asli, langsung dari langit.

Apa salahku menjadi buah yang jujur?


Kadang aku mendengar stroberi di rak atas tertawa kecil,
mengobrol dengan apel fuji impor yang wajahnya seperti boneka pameran.

“Si markisa itu... bau tanah banget.”
“Iya, kasian. Gak ada yang mau bawa pulang.”
“Kalo pun dibeli, paling dibikin sirup, bukan dimakan langsung.”

Aku tersenyum.
Karena aku tahu satu hal yang mereka lupakan:
Sirupku bisa menyegarkan hari buruk siapa pun,
tanpa perlu aku bersinar dalam kamera.


Aku tidak iri.
Hanya sedikit lelah.
Menjadi buah yang harus menjelaskan siapa diriku setiap kali muncul.

“Ini apa ya?”
“Boleh icip dulu?”
“Oh, kayak semangka, ya?”
“Eh, isinya kayak alien!”
“Ini makan langsung atau blender ya?”

Mengapa dunia begitu tidak siap menerima keanehan?
Mengapa semua harus mirip dan gampang dimengerti?
Bukankah yang tidak biasa justru menawarkan pengalaman yang tak terlupakan?


Aku pernah bermimpi.
Menjadi buah lokal pertama yang mendunia.
Muncul di pesawat kelas bisnis.
Dihidangkan dalam piring kecil yang diangkat pramugari dengan senyum terlatih.
Disebut dengan penuh aksen:

"Passionfruit from Indonesia. Limited edition."

Tapi setiap kali aku bangun dari mimpi itu,
aku kembali ke rak plastik dengan harga coret.


Aku heran,
kenapa manusia suka buah yang tidak punya rasa tapi punya nama keren?

Kalian beli buah karena isinya,
atau karena stiker-nya?


Aku tidak akan berbohong.
Aku memang bukan rasa yang semua orang suka.
Aku tidak memanjakan.
Aku kadang terlalu asam untuk lidah pemalas.
Tapi justru itu pelajarannya:
Hidup tidak selalu manis. Tapi tetap layak dinikmati.


Aku tidak viral.
Tidak ada youtuber yang membuat konten "24 Jam Makan Markisa".
Tidak ada selebgram yang meletakkanku di atas oatmeal warna pastel.
Tidak ada brand besar yang mau mengiklankan aku dengan model berkaki jenjang.

Tapi aku nyata.
Dan aku punya isi.

Apakah itu tidak cukup?


Aku lihat dunia buah berubah.
Ada buah sintetis, buah olahan, buah hibrida.
Semuanya sibuk ingin jadi versi terbaik dari keinginan pasar.

Tapi aku tidak ingin berubah.
Karena kejujuran adalah satu-satunya hal yang tersisa dari ladangku.
Dan jika aku harus memilih antara terkenal atau setia pada rasa,
aku pilih jadi buah yang dilupakan tapi jujur.


Terkadang datang seorang anak kecil,
menatapku dengan penasaran.
Ibunya berkata,

“Jangan itu nak, gak enak.”
“Nih ambil apel, manis.”

Si kecil pun mengangguk.
Meninggalkan aku di ujung rak,
seolah aku hanya kesalahan katalog.

Dan aku bertanya pada diri sendiri,
kapan manusia belajar bahwa rasa itu harus dicoba,
bukan diasumsikan?


Aku ingin berteriak,
tapi aku tidak punya pita suara.
Aku hanya punya kulit yang berkerut
dan daging yang menyimpan kesegaran tak terduga.

Aku ingin didengar,
tapi aku tidak punya agensi iklan.
Aku hanya punya aroma yang sederhana,
dan cerita yang tidak ada di Google.


Lalu datang satu perempuan muda.
Ia tidak membawa daftar belanja.
Ia mengambilku tanpa ragu.
Membawa pulang aku, mencicipiku, dan tersenyum.

“Kenapa buah seenak ini nggak terkenal?”
bisiknya ke udara.

Aku menangis dalam diam.
Ternyata masih ada yang bisa menilai rasa dengan lidah,
bukan dengan lensa kamera.


Aku markisa.
Aku tidak ingin terkenal.
Aku hanya ingin diterima.

Aku tidak ingin dipuja.
Aku hanya ingin diberi kesempatan.

Aku tidak ingin dijual mahal.
Aku hanya ingin dikunyah perlahan dan dipahami.

Karena kadang yang kita butuhkan bukan buah manis,
tapi buah jujur yang mengingatkan bahwa hidup tidak harus selalu enak,
tapi harus selalu nyata.


Aku markisa.
Masih melamun.
Tapi tidak lagi karena putus asa.
Melainkan karena aku percaya satu hal:

Mungkin hari ini aku dilupakan,
tapi suatu hari,
dunia akan lelah dengan kepalsuan,
dan mencari rasa yang bisa mengguncang tanpa perlu penampilan.

Dan saat hari itu datang,
aku akan tetap menunggu.
Dalam diam.
Dalam kesegaran.
Dalam kebenaran.


~ Selesai (~1000 kata)
Oleh: Jeffrie Gerry (Japra)
Buah lokal yang tidak diam meski tidak viral.

Post a Comment

0Comments

🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!

📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!

💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!

🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱

📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!

💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.

— Tim Wortelkenesia 🥕

Post a Comment (0)