Wortel Pakai Dasi: Gaya Baru Penindasan Nutrisi

Jeffrie Gerry
0

 


Wortel Pakai Dasi: Gaya Baru Penindasan Nutrisi

Di sebuah ladang fiktif bernama Taman Segar Abadi, sayuran-sayuran hidup dalam harmoni. Ada Bayam si cerdik, Brokoli si filosof, Tomat si artis, dan tentu saja: Wortel, si pemimpin baru yang gemar berdasi.

Dulu, Wortel hanyalah sayuran biasa. Kulitnya oranye mengilap, batang hijau mungil di atas kepalanya. Ia tumbuh bersama teman-temannya di bawah sinar matahari yang hangat, diguyur air hujan murni, dan dibelai angin sepoi-sepoi. Tak ada yang menyangka, suatu hari, Wortel akan berubah.

Perubahan itu dimulai saat Pesta Panen Raya. Seluruh sayuran berkumpul merayakan keberhasilan tumbuh sehat. Namun, di tengah pesta, datanglah Wartawan Salad, yang hendak meliput siapa sayuran terbaik tahun ini. Wortel maju, berdiri gagah sambil memamerkan senyumnya.

“Kamu kelihatan keren, Wortel,” puji Wartawan Salad.

“Ah, ini baru permulaan,” jawab Wortel, sambil melirik dasi sutra mungil yang baru saja dia pakai, hasil kiriman paket misterius bertuliskan: ‘Untuk Wortel Terbaik’.

Sejak hari itu, Wortel mulai berubah. Ia mengenakan dasi setiap hari, bahkan ketika harus mencangkul tanah atau menyerap nutrisi. Ia mulai bicara soal “kemajuan sayuran,” “modernisasi ladang,” dan “efisiensi fotosintesis.”

Di rapat sayuran, Wortel berdiri di atas peti kayu, mengangkat tangannya.

“Teman-teman! Sudah saatnya kita naik level! Tidak cukup hanya jadi sayuran sehat. Kita harus jadi sayuran BERKELAS!” katanya lantang.

Bayam mengernyit. “Maksudmu?”

“Kita harus mengatur siapa yang dapat air lebih dulu, siapa yang berhak dapat pupuk terbaik, siapa yang boleh muncul di iklan majalah makanan!” jelas Wortel, sambil mengibaskan dasinya.

Brokoli menggeleng pelan. “Bukankah nutrisi kita sama? Bukankah tanah ini milik bersama?”

“Nah, justru itu masalahnya!” jawab Wortel sambil tersenyum lebar. “Selama ini kita semua rata, tak ada yang istimewa. Aku ingin memecah itu. Aku, Wortel, akan memimpin distribusi nutrisi agar lebih efisien. Demi kemajuan bersama, tentu saja.”

Sayuran lain mulai gelisah. Hari demi hari, mereka melihat perubahan nyata: Wortel selalu mendapat posisi terbaik di ladang, tempat paling dekat dengan pupuk kompos segar. Sementara itu, Bayam mulai menguning, Tomat mulai keriput, Brokoli mulai layu.

“Kita harus bicara dengannya,” ujar Bayam pada suatu malam.

“Aku setuju,” kata Brokoli. “Kita tidak bisa terus seperti ini. Nutrisi bukan hanya milik satu jenis sayuran.”

Malam itu mereka pergi ke pondok Wortel, sebuah gubuk kecil yang kini dihiasi lampu gantung dan papan nama bertuliskan: CEO Ladang Segar Abadi. Wortel sedang duduk di kursi rotan, menyeruput teh herbal, dasinya berkilau di bawah cahaya bulan.

“Ada apa, teman-teman?” tanyanya dengan senyum santai.

“Kami lapar,” kata Tomat pelan. “Kami mulai layu. Kenapa pupuk hanya untukmu?”

Wortel mengangkat alis. “Oh, itu? Tenang saja, nanti kalau kalian berhasil menjadi sayuran premium seperti aku, kalian juga akan dapat bagian lebih.”

“Kami semua setara, Wortel!” potong Brokoli tegas. “Apa gunanya kau sehat kalau teman-temanmu sakit?”

Wortel tertawa kecil. “Itulah hukum alam, kawan. Siapa yang berusaha lebih, dia yang pantas dapat lebih.”

Bayam menarik napas panjang. “Kau tidak berusaha lebih, Wortel. Kau hanya pakai dasi.”

Hening sejenak. Lalu Wortel berdiri, merapikan dasinya. “Kalau begitu, aku anggap kalian menantangku. Mulai besok, aku akan pastikan tidak ada lagi yang dapat pupuk kecuali mereka yang mengikuti programku: Dasi untuk Semua.”

Keesokan harinya, semua sayuran diminta mendaftar program baru: mereka harus membeli dasi kecil agar dianggap pantas mendapat nutrisi. Kentang, Lobak, bahkan Bawang mulai antre, berharap dasi akan membawa mereka pada kesegaran kembali.

Namun ternyata, dasi itu palsu. Tidak membawa apa-apa kecuali ilusi. Nutrisi tetap diarahkan ke Wortel, yang kini makin gemuk, makin oranye, makin gemilau.

Suatu hari, badai besar datang. Angin menderu, hujan menghantam, kilat menyambar. Sayuran-sayuran yang lemah tak kuat bertahan, banyak yang rubuh. Wortel pun terkena badai, dasinya terlepas, hanyut bersama air lumpur.

Ketika pagi tiba, Wortel terbangun lemas. Ia melihat ke sekeliling: Bayam, Brokoli, Tomat, semua sudah tidak ada. Ladang itu kini sunyi. Tanpa dasinya, Wortel hanya wortel biasa, kulitnya kusam, daunnya layu.

Ia berjalan terseok, mendekati sebuah genangan air, melihat bayangannya.

“Aku... hanya wortel biasa…” bisiknya.

Hari-hari berikutnya, Wortel mencoba menyelamatkan sisa ladang. Ia bekerja keras, menggali tanah, menanam benih baru. Lambat laun, kehidupan mulai muncul: Bayam kecil, Brokoli mungil, Tomat muda. Wortel kini menyadari: semua tumbuh bersama, bukan karena dasi, tapi karena berbagi.

Di akhir cerita, Wortel berdiri di depan ladang barunya, tanpa dasi, tanpa gelar. Ia tersenyum.

“Dulu aku pikir dasi membuatku lebih baik. Padahal, tanpa teman-teman, aku hanyalah sayuran kesepian.”

Pesan Pembelajaran

Cerita ini ingin menyampaikan bahwa kemewahan dan simbol status tidak pernah bisa menggantikan makna kebersamaan dan keadilan. Penindasan, bahkan dengan dalih “efisiensi” atau “kemajuan,” hanya akan membawa kehancuran. Nutrisi — atau dalam hidup manusia: kesempatan, akses, dan perhatian — harus dibagi secara adil, karena hidup bukan hanya soal siapa yang “berdasi” paling keren, tapi siapa yang mau saling membantu tumbuh bersama.

Pesan Positif

Setiap orang (atau setiap sayuran!) punya peran penting. Jangan terpaku pada simbol-simbol kosong atau gelar palsu. Yang membuat kita benar-benar hebat bukanlah penampilan luar, tapi hati yang mau bekerja sama, berbagi, dan peduli.

Kalau kamu merasa sedang “kelaparan” dalam hidup, mungkin sudah waktunya berhenti mengejar dasi, dan mulai mencari teman-teman yang mau menanam kembali ladang kebaikan bersama. 🌱


 Wortel Pakai Dasi: Gaya Baru Penindasan Nutrisi (2)

Di suatu negeri bernama Lumbung Gizi, sayur-sayuran hidup berdampingan di sebuah pasar bernama "Pasar Sehat". Negeri ini dahulu dikenal sebagai tempat paling subur dan demokratis bagi setiap jenis sayur: dari kangkung sampai kol, dari tomat sampai terong, dari bayam sampai brokoli. Semua punya hak bicara, hak dicerna, dan hak untuk tidak ditumis berlebihan.

Namun segalanya berubah ketika satu wortel bangkit dari barisan peti dan mengenakan… dasi.

Namanya Wortel Pak Warto. Ia bukan lagi sekadar sayuran akar biasa yang diparut untuk bakwan atau direbus seadanya dalam sup. Ia kini mengaku sebagai CEO Nutrivision Inc., perusahaan yang katanya bertugas “mengatur distribusi vitamin A ke seluruh penjuru lambung”.

“Zaman sayur bebas sudah usai!” kata Pak Warto dalam pidato perdananya di depan kerumunan sayur lain. “Kita butuh struktur. Hirarki. Dan tentu, estetika! Tidak bisa lagi ada sayur kusut tanpa grooming dipajang sembarangan di rak sayur. Kalian harus tahu branding!”

Brokoli mengernyit. “Maksudmu kita harus... berdandan?”

“Kalian harus tampil layak. Tak ada yang suka daun kusut. Kalian akan dipoles, disteril, dilabeli dengan jargon ‘organic’ meski kalian sebenarnya hasil suntikan pupuk sintetik. Yang penting citra. Kita harus tampil sebagai nutrisi premium!”

Tiba-tiba dunia sayuran berubah drastis.

Bayam-bayam mulai antre di salon sayur, membayar daun mereka untuk dilicinkan. Tomat dipoles agar lebih merah meski asamnya sudah hilang. Terong dipaksa suntik volume biar lebih "penuh" di mata pelanggan. Semangka dituduh terlalu “rakyat jelata” karena harganya yang tidak naik-naik.

Sementara itu, Pak Warto sibuk memproduksi slogan:

  • “Lebih Dasi, Lebih Nutrisi!”

  • “Sayur Mahal, Nutrisi Bermoral!”

  • “Kangkung Lama, Gizi Drama!”

Paling ironis? Sayuran yang tak mau tunduk pada aturan baru disebut sebagai “sayur liar”, dan dikarantina di Gudang Rendah Nutrisi, tempat lembap di belakang kulkas berdebu. Di sana, sawi-sawi merenung sambil menangis. “Dulu kita dicintai, sekarang dituduh tak layak jual.”

Pak Warto makin besar kepala. Ia mengundang media. Ia diundang ke acara talk show manusia—dalam bentuk jus dingin tentunya. Tapi yang diwawancara adalah ideologinya: “Nutrisi harus dikapitalisasi. Itu satu-satunya cara agar kita dihargai manusia. Kalau tidak, mereka hanya akan menyebut kita... pelengkap lalapan!”

Lalu muncullah perlawanan.

Dimulai dari bawah tanah. Bukan metafora—benar-benar dari bawah tanah—karena pemimpinnya adalah Ubi Cilembu yang dikenal pendiam tapi manisnya tak terbantahkan. Ia menggagas gerakan Sayur Asli Tanpa Dasi (SATD).

“Kita bukan sekadar produk. Kita tumbuh dari tanah, bukan dari kantor!” seru Ubi. “Nutrisi bukan urusan kemasan, tapi ketulusan!”

SATD mulai menyebar. Kol-kol tua mulai turun ke jalan. Wortel-wortel muda menolak diwarna oranye sintetis. Kangkung mulai menari bebas di selokan sambil menyanyikan lagu perjuangan: “Kami sayur, kami alami, tak perlu jas apalagi strategi.”

Pak Warto mulai gusar. Ia mulai mengedarkan memo: “Siapa pun yang tidak mengenakan dasi minimal dua lembar per minggu, tidak akan diakui dalam kurikulum gizi nasional!”

Namun, sebuah peristiwa mengubah segalanya.

Suatu hari, seorang bocah kecil bernama Niko, sakit demam dan tak mau makan. Dokternya memberi resep: “Berikan sup sayur dari bahan segar, bukan dari kemasan!”

Ibunya panik. Semua sayur di pasar adalah sayur berdasi. Mahal, penuh plastik, dan terasa... hambar.

Akhirnya, si ibu menemukan sebuah kios kecil di belakang pasar. Kios itu penuh dengan sayur lusuh, penuh tanah, tidak mengkilap, tapi... segar.

Dia beli, masak, dan berikan ke Niko.

Ajaibnya, Niko sembuh dalam dua hari. Dokternya heran. Wartawan datang. Dan ketika ditanya, sang ibu menjawab: “Saya tak tahu nama gerakan mereka, tapi sayur-sayur ini... terasa jujur.”

SATD mulai naik daun (dalam arti harfiah dan idiomatis). Mereka tak kampanye lewat poster, cukup dengan rasa. Dan masyarakat pelan-pelan sadar: nutrisi bukan soal dasi, tapi soal kandungan, asal-usul, dan ketulusan tumbuh.

Pak Warto? Ia kini duduk termenung di rak paling atas supermarket mewah, berdasi kupu-kupu emas, tapi... tak laku. Tak satu pun ibu rumah tangga menyentuhnya.

Ia akhirnya berkata lirih, “Mungkin... aku terlalu ingin terlihat penting, sampai lupa... jadi penting.”


Refleksi Akhir:

Cerita ini adalah parodi tentang obsesi penampilan, kapitalisasi kesehatan, dan manipulasi citra yang sering terjadi di dunia nyata—bukan hanya di kalangan manusia, tapi kini merambah dunia sayur fiktif.

Pesan Pembelajaran:

  • Penampilan bisa menipu, tapi kualitas sejati tetap berbicara.

  • Nutrisi, seperti kebaikan, tumbuh dari ketulusan, bukan kemasan.

  • Kapitalisme yang membungkus kesehatan dalam jargon elit bisa menghilangkan makna dasar: kebermanfaatan.

  • Dan yang paling penting: meski kamu sayur kusut tanpa dasi, selama kamu jujur dan bernutrisi... kamu tetap berharga.

Jadi, lain kali saat kau melihat wortel berdasi di etalase mewah, ingatlah: kadang yang terlihat "tinggi" hanya sedang berdiri di rak promo.


Penutup:
Di dunia yang makin sibuk menjual citra, jangan lupa mencicipi kenyataan. Nutrisi bukan berasal dari dasi, tapi dari tanah, sinar, air, dan kejujuran.


Dialog


(Adegan 1: Di Balai Pasar Sehat, sebuah aula besar tempat sayuran berkumpul.)

Pak Warto (Wortel Pakai Dasi):
“Teman-teman! Dengarkan baik-baik. Kita butuh perubahan. Sayur-sayur kusut dan lusuh tidak akan laku di zaman modern. Kita harus tampil elegan, bermartabat, berwibawa!”

Brokoli:
“Berwibawa? Maksudmu... dengan mengenakan dasi, kita jadi lebih bernutrisi?”

Pak Warto:
“Persis! Kita akan mengenakan dasi, label mewah, dan kita akan naik kelas. Tidak ada lagi yang bilang kita cuma pelengkap lalapan. Kita akan jadi simbol status!”

Bayam:
“Tapi Pak, bukankah tugas kita cuma memberi vitamin? Apakah manusia peduli dengan penampilan kita selama kita segar dan alami?”

Pak Warto:
“Bayam, bayam... kau naif sekali. Lihat rak supermarket. Yang paling laris adalah yang paling berkilau, paling mengkilap, paling ‘Instagrammable’. Kita harus adaptasi!”

Terong:
“Berarti aku harus... disuntik volume supaya lebih montok?”

Pak Warto:
“Betul, Terong! Volume, kilau, citra. Dunia ini soal siapa yang tampil lebih baik, bukan siapa yang lebih sehat.”

Kangkung:
“Kalau begitu, siapa yang memikirkan nasib kami yang tumbuh di selokan, liar, tak berpupuk? Apakah kami akan diusir?”

Pak Warto:
“Bukan diusir... tapi kalian akan kami tempatkan di Gudang Rendah Nutrisi. Sampai kalian belajar berdandan!”

(Sayuran-sayuran lain mulai ribut. Bisik-bisik, gelisah.)

Sawi Tua:
“Wah, zaman sudah gila. Dulu kita dihargai karena manfaat, sekarang karena dasi?”

Ubi Cilembu (datang perlahan, tenang):
“Tenang, Sawi. Kita tidak perlu ikut arus. Kita punya kekuatan sejati: rasa. Tak perlu dasi, tak perlu kilap.”


(Adegan 2: Di ruang rahasia bawah tanah, markas gerakan Sayur Asli Tanpa Dasi – SATD.)

Ubi Cilembu:
“Kawan-kawan, dengarkan aku. Kita adalah sayur-sayur yang tumbuh dari tanah, bukan dari kantor. Kita lahir untuk memberi nutrisi, bukan untuk berpose di etalase.”

Kol Tua:
“Tapi, Ubi, mereka bilang tanpa label premium, kita tak akan dibeli manusia.”

Ubi Cilembu:
“Itu bohong! Manusia mencari kejujuran. Mereka hanya lupa cara menemukannya. Tugas kita mengingatkan mereka.”

Tomat:
“Kau yakin, Ubi? Kita ini kecil, lusuh, murah. Mereka itu punya slogan, poster, iklan!”

Ubi Cilembu:
“Kita punya satu hal yang mereka tidak punya: rasa. Tak ada iklan yang bisa mengalahkan satu gigitan jujur.”

Bayam:
“Jadi, apa rencanamu, Ubi?”

Ubi Cilembu:
“Kita tak perlu menyerang. Cukup hadir, cukup segar, cukup tulus. Mereka akan menemukan kita ketika mereka benar-benar butuh.”


(Adegan 3: Di supermarket mewah, Pak Warto berdiri di rak tertinggi, mengenakan dasi kupu-kupu emas.)

Pak Warto (berbisik pada dirinya sendiri):
“Lihatlah aku sekarang. Dari peti biasa menjadi ikon. Semua sayuran mengagumiku. Semua manusia ingin membeliku. Aku sukses.”

(Tapi ia melihat ke bawah, rak kosong. Tak ada yang membeli.)

Pak Warto:
“Kenapa... kenapa tidak ada yang mengambilku? Bukankah aku yang paling indah di sini?”

(Seorang anak kecil, Niko, lewat sambil memegang sup bayam dan ubi dari kios belakang pasar.)

Niko (pada ibunya):
“Bu, supnya enak banget! Aku merasa lebih baik!”

Ibu Niko:
“Iya, Nak, ternyata sayur dari kios kecil itu rasanya beda, ya? Meski jelek, ternyata lebih segar.”

(Pak Warto mendengarnya, wajahnya menegang.)

Pak Warto (lirih):
“Apakah... aku terlalu ingin terlihat penting... sampai lupa... menjadi penting?”


(Adegan 4: Di panggung debat sayur, di depan wartawan dan kamera.)

Wartawan Wortel:
“Pak Warto, SATD kini mendapat dukungan masyarakat. Bagaimana tanggapan Anda?”

Pak Warto:
“Ini hanya tren sesaat! Mereka tidak paham marketing. Lihat saja nanti, pasar akan kembali memilih yang berkelas.”

Ubi Cilembu (tersenyum tenang):
“Kami tak ingin berperang, Pak Warto. Kami hanya ingin jadi apa adanya. Nutrisi bukan soal harga, bukan soal dasi, tapi soal kebermanfaatan.”

Brokoli:
“Pak Ubi, apakah Anda anti kemasan?”

Ubi Cilembu:
“Bukan. Kami anti kebohongan. Kalau kemasan sesuai isi, kami tak masalah. Tapi kalau kemasan hanya topeng, itu penindasan. Nutrisi ditindas demi citra.”

Pak Warto (teriak):
“Kau meremehkan usaha kami!”

Ubi Cilembu:
“Tidak, Pak. Kami menghormati usaha siapa pun. Tapi kami juga mengingatkan: jangan sampai usaha menjual, membunuh esensi memberi.”


(Adegan 5: Di Gudang Rendah Nutrisi, tempat sayuran liar dikumpulkan.)

Kangkung:
“Aku takut, Ubi. Kami di sini sudah tak diakui.”

Ubi Cilembu:
“Jangan takut. Aku sudah bicara dengan pasar tradisional. Mereka siap menampung kalian. Di sana, kalian akan dihargai apa adanya.”

Sawi:
“Benarkah? Tapi bagaimana kami keluar dari sini?”

Ubi Cilembu (tersenyum):
“Dengan satu kekuatan: rasa. Kita akan hadir di piring orang-orang, dan mereka akan bicara tentang kita. Suara pelanggan lebih keras daripada iklan.”


(Adegan 6: Di meja makan keluarga Niko.)

Niko:
“Bu, aku mau makan ubi lagi besok!”

Ibu Niko:
“Tentu, Nak. Kita akan beli lagi di kios kecil itu. Aku merasa lebih sehat juga.”

Ayah Niko:
“Wah, dulu aku pikir harus beli di supermarket mahal. Ternyata, yang penting bukan penampilannya, tapi rasanya.”

(Sayur-sayuran dari SATD tersenyum dari rak belakang, diam-diam mengamati keberhasilan mereka.)


(Adegan 7: Di kantor Nutrivision Inc., Pak Warto duduk sendirian.)

Pak Warto:
“Dulu aku ingin semua sayur dihargai, bukan diremehkan. Tapi entah kapan, aku jadi terobsesi citra. Salahkah aku?”

(Tiba-tiba pintu diketuk. Ubi Cilembu masuk.)

Ubi Cilembu:
“Pak Warto, aku datang bukan untuk menghancurkanmu. Aku datang untuk mengajakmu kembali ke akar kita. Mau?”

Pak Warto (mata berkaca-kaca):
“Aku... aku hanya ingin kita semua diakui.”

Ubi Cilembu:
“Maka mulai sekarang, mari kita diakui bukan karena dasi, tapi karena manfaat.”

(Mereka berjabat tangan.)


(Penutup: Di Pasar Sehat, spanduk baru terbentang: “Sayur Sehat, Sayur Jujur, Sayur Untuk Semua.” Sayuran dengan dan tanpa dasi duduk bersama, tertawa, berbagi cerita.)

Pak Warto:
“Kau tahu, Ubi, aku masih suka dasi. Tapi sekarang aku memakainya bukan untuk sombong... hanya sebagai gaya.”

Ubi Cilembu (tertawa):
“Pakai saja, Pak. Asal hatinya tetap jujur, dasi takkan pernah menindas nutrisi.”


Dan begitulah, di negeri Lumbung Gizi, sayuran belajar satu hal penting: kebermanfaatan tidak perlu topeng; rasa jujur akan selalu menang.

~ Tamat ~


Puisi

Aku adalah Wortel,
berdasi kupu emas,
berdiri gagah di rak supermarket,
tersenyum licik di balik lapisan lilin kilap,
mengira diriku raja,
padahal hanya tumbuhan dungu yang lupa
bagaimana rasanya
jadi makanan sederhana.

“Hormat, teman-teman!” seruku lantang,
kepada Brokoli, Bayam, Terong, Kangkung,
“Sekarang kita bukan lagi tanaman kampung.
Kita sudah naik kasta,
kita berdasi, berlabel premium,
kita bukan lagi sayuran kumal
yang direbus tanpa garam!”

Brokoli mengangkat tangannya,
“Pak Warto, apakah nutrisi kita ikut naik
kalau kita pakai dasi?”
Aku tertawa,
suara plastik berkedut,
“Anak muda, dunia ini bukan soal isi,
tapi soal kemasan!”

Bayam menunduk,
“Kita ini vitamin, Pak, bukan perhiasan.”
Ah, Bayam naif,
tak tahu zaman telah berubah.

Terong merengek,
“Jadi aku harus disuntik volume,
supaya makin montok di Instagram?”
“Betul!” jawabku bangga.
“Kita akan jadi bintang,
bukan sekadar pengisi piring pinggiran.”

Sawi Tua di sudut terkekeh,
“Dulu kita dihormati karena manfaat,
sekarang dihormati karena dasi?”
Aku mendengus,
“Manfaat itu kata usang, Kek.
Sekarang zaman citra,
zaman followers,
zaman impresi.”


Namun di bawah tanah,
di sudut gelap,
para sayur tanpa dasi berkumpul:
Ubi Cilembu, Kol Tua, Kangkung liar,
Bayam tanpa plastik wrap.

Ubi berbicara pelan,
“Kita ini bukan bintang iklan.
Kita ini pemberi rasa,
pemberi tenaga.
Jangan ikut-ikutan kilap.
Manusia akan mencari yang jujur,
kalau mereka lapar betulan.”

Tomat kecil gemetar,
“Kau yakin, Ubi? Kita ini kecil,
lusuh, murah.
Mereka itu punya poster, slogan,
bahkan endorsement artis!”

Ubi tersenyum tenang,
“Satu gigitan jujur
mengalahkan sejuta poster palsu.
Tak perlu gempita,
cukup hadir, cukup segar.”


Di supermarket mewah,
aku berdiri sendiri,
di rak tertinggi,
dengan dasi emas,
dengan poster “Top Nutrisi Pilihan Chef Dunia.”

Tapi tak ada tangan yang meraihku.
Tak ada anak kecil yang memintaku.
Tak ada ibu yang mengisi keranjangku.

Di luar, Niko kecil memeluk sup bayam dan ubi,
“Bu, ini enak banget! Aku mau lagi!”
Aku menggigit bibir,
kilap lilin di kulitku retak.
“Kenapa mereka memilih yang jelek?
Aku kan yang paling indah…”


Debat besar digelar,
sayuran berdasi melawan sayuran tanpa dasi.
Wartawan Wortel, Brokoli di podium,
Pak Warto melontarkan pidato,
“Ini cuma tren sesaat!
Kalian tidak mengerti marketing!”

Ubi Cilembu menjawab tenang,
“Kami tak butuh perang.
Kami hanya ingin jadi apa adanya.
Nutrisi bukan soal harga,
bukan soal dasi,
tapi soal kebermanfaatan.”

Aku mengepalkan daun,
“Kau meremehkan usaha kami!”
Ubi tersenyum lembut,
“Tidak, Pak.
Kami hanya mengingatkan:
jangan sampai usaha menjual
membunuh esensi memberi.”


Di Gudang Rendah Nutrisi,
Kangkung menangis,
“Kami ini liar, kami ini tak dianggap.”
Ubi memeluknya,
“Tenang, teman.
Pasar tradisional siap menyambutmu.
Di sana, yang dicari bukan kemasan,
tapi rasa sejati.”

Sawi memandang tak percaya,
“Benarkah? Tapi siapa yang akan membela kami?”
Ubi berkata pelan,
“Suara pelanggan lebih keras
daripada iklan televisi.
Kita akan menang lewat piring,
bukan lewat papan reklame.”


Di meja makan keluarga,
Niko tertawa,
sup bayam menari di lidahnya,
ubi manis melumer di mulutnya.

Sang ibu tersenyum,
“Ternyata sayur sederhana
rasanya jauh lebih segar.”
Sang ayah mengangguk,
“Dulu kupikir supermarket adalah segalanya.
Ternyata, kejujuran rasalah yang tak tergantikan.”


Di kantor Nutrivision Inc.,
aku duduk sendiri,
mengamati dasi emas di cermin,
mengingat masa kecilku di ladang.

“Aku hanya ingin sayuran dihormati…
Entah sejak kapan aku malah
menjual kebohongan…”

Pintu diketuk.
Ubi masuk, tersenyum.
“Pak Warto,
mari kita kembali ke akar kita.
Mau?”

Aku menunduk,
mata berkaca-kaca.
“Aku… aku hanya ingin
kita semua diakui.”

Ubi menggenggam tanganku,
“Mulai sekarang, mari kita diakui
bukan karena dasi,
tapi karena manfaat.”


Dan di Pasar Sehat,
terbentang spanduk baru:
“Sayur Sehat, Sayur Jujur, Sayur Untuk Semua.”

Di sana, sayuran berdasi
dan tanpa dasi
duduk berdampingan,
tertawa, berbagi cerita,
bercanda soal masa lalu.

Aku menepuk dasi kupu-kupu emas di leherku,
“Aku masih suka dasi, Ubi.
Tapi sekarang aku memakainya
bukan untuk sombong,
hanya sebagai gaya.”

Ubi tertawa,
“Pakai saja, Pak.
Asal hatinya tetap jujur,
dasi takkan pernah menindas nutrisi.”


Pesan satirku kepada kalian, manusia:
Jangan tertipu kilap,
jangan terjebak label,
jangan mabuk poster.

Carilah yang jujur,
yang tumbuh dari tanah,
yang memberi tanpa topeng.

Karena dasi tak pernah membuat wortel lebih manis,
plastik tak pernah membuat bayam lebih bergizi,
dan iklan tak pernah membuat ubi lebih hangat.

Yang membuat makanan berharga
adalah rasa, adalah ketulusan,
adalah cinta yang ditanamkan
oleh alam, oleh tangan petani,
oleh tangan sederhana
yang tidak pernah butuh panggung.


Jadi, besok saat kau belanja,
perhatikan baik-baik:
apakah kau membeli nutrisi,
atau hanya membeli ilusi?

Apakah kau ingin kenyang
atau hanya ingin pamer foto di layar ponselmu?

Dan ingatlah,
di balik setiap gigitan,
ada dua dunia:
dunia yang berdasi,
dan dunia yang sederhana.

Pilihlah dengan bijak.
Karena dalam satu gigitan jujur,
tersimpan kekuatan
yang lebih besar
dari sejuta poster palsu.

~ Tamat ~

Post a Comment

0Comments

🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!

📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!

💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!

🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱

📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!

💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.

— Tim Wortelkenesia 🥕

Post a Comment (0)