Berry-berry Bohong: Satir Buah Impor Kekinian

Jeffrie Gerry
0

 


Berry-Berry Bohong: Satir Buah Impor Kekinian

Oleh: Jeffrie Gerry (Japra)


Pengantar yang Mencekam Manis

Di supermarket modern yang pendinginnya lebih tajam dari tatapan mantan, tampaklah berderet rapi buah-buahan eksotik bernama asing: blueberry, strawberry, raspberry, cranberry, dan entah-apa-berry lain yang tampaknya baru saja turun dari jet pribadi. Mereka cantik. Mereka kecil. Mereka mahal. Dan yang lebih penting lagi—mereka bukan dari sini.

Di negeri tropis yang kaya akan manggis, salak, duku, dan jambu air, kini kita sibuk memuja buah-buahan mungil dari benua seberang. Mereka tampil dalam kemasan plastik bening, dibubuhi label dengan huruf kapital semua: “PREMIUM IMPORTED”. Tak ada aroma tanah Nusantara, tapi ada gengsi yang menguar keras saat dipajang di meja makan.

Lalu kita pun bertanya: apakah benar ini buah? Atau ini hanya semacam aksesori hidup modern? Apakah mereka punya rasa, atau hanya menyajikan harga?

Selamat datang dalam satir buah impor kekinian: berry-berry bohong.


Bab 1: Si Kecil yang Meracuni Status Sosial

Mari jujur: berry itu kecil, mahal, dan sering kali asam. Tapi entah kenapa, mereka punya daya magis luar biasa di mata kaum urban. Di kafe-kafe, muffin tidak akan naik kelas tanpa topping blueberry. Smoothie tidak akan laku tanpa embel-embel “strawberry imported”. Dan salad akan dianggap kampungan jika hanya mengandalkan pepaya dan nanas.

Kenapa ini terjadi?

Karena hari ini, makan bukan soal rasa, tapi citra.

“Aku makan raspberry, loh,” kata seorang influencer sambil selfie dengan sorotan cahaya lembut.

“Jambu air? Maaf, itu buat anak-anak kampung,” ejek caption yang tak tertulis di foto glossy Instagram.

Padahal di balik layar, si influencer meringis. Rasanya asam. Teksturnya aneh. Tapi demi followers, ditelan juga.


Bab 2: Berry yang Tidak Tumbuh di Halamanmu

Kita tinggal di tanah yang membuat apapun tumbuh: dari kelapa di pinggir pantai, hingga durian di lembah rahasia. Tapi justru karena terlalu subur, kita jadi buta akan kekayaan sendiri. Kita menginginkan yang jauh, yang datang dari suhu minus, yang lahir bukan dari petani lokal, tapi dari peternakan kapitalisme gaya hidup.

Blueberry tidak tumbuh di halamanmu. Dia ditanam ribuan kilometer jauhnya, dipetik oleh tangan asing, disemprot bahan kimia agar awet selama perjalanan laut. Lalu dia duduk angkuh di rak pendingin minimarket, menatap sinis buah naga lokal yang tak dibubuhi stiker harga dalam dolar.

Ironis? Lebih dari itu—tragis.


Bab 3: Buah Lokal dan Kemiskinan Branding

Pernahkah kamu melihat salak dijual dalam box premium dengan font sans-serif dan deskripsi penuh cinta?

Tidak.

Tapi coba lihat kotak kecil raspberry: “Harvested under full moon. Packed with antioxidant dreams.”

Wow. Buah pun kini perlu juru bicara marketing. Sementara buah lokal kita hanya dibungkus koran bekas, dijual di pinggir jalan, dan dipanggil dengan suara parau emak-emak pasar.

Padahal kalau soal rasa, salak pondoh bisa bikin lidah menari salsa. Manggis bisa menenangkan hati yang penuh luka. Duku bisa menyatukan keluarga saat musim panen.

Tapi apa daya. Branding mengalahkan rasa. Salak tidak bisa bicara bahasa Inggris.


Bab 4: Buah-Buahan yang Lulus Sosiologi Pergaulan

Di pesta pernikahan elite, salad buah tampil mewah di cawan kristal. Isinya? Anggur hitam, kiwi, dan tentu saja: strawberry. Duku? Tidak. Rambutan? Mana mungkin.

Di kantor startup, camilan sehat adalah granola plus yogurt dengan topping blueberry. Siapa berani bawa rujak buah iris dengan sambal kacang? Bisa-bisa dianggap alien dari zaman Majapahit.

Buah kini bukan lagi gizi, tapi status. Sebuah tiket masuk ke ruang obrolan yang mencibir kampung halaman. Sebuah simbol bahwa kamu tahu perbedaan antara raspberry dan blackberry, tapi tak bisa bedakan antara mangga golek dan harum manis.

Beginilah ketika pasar lebih percaya pada barcode impor dibanding aroma kebun lokal.


Bab 5: Berry dan Bisnis Citra Diri

Mari kita luruskan: tidak semua yang impor buruk. Tapi ketika semua hal lokal dianggap rendahan, di sanalah kebohongan sistem dimulai.

Buah-buah import—khususnya berry-berryan ini—bukan lagi soal kesehatan atau rasa. Mereka berubah menjadi strategi bisnis gaya hidup. Sebuah cara untuk tampil lebih “wellness”, lebih “healing”, lebih “cocok buat reels aesthetic”.

Kamu tak lagi makan buah karena lapar atau suka, tapi karena ingin terlihat sehat.

Dan akhirnya, berry jadi bohong.


Bab 6: Rasanya Asam, Tapi Dibilang Nikmat

Kita pernah tertipu oleh cinta. Kini tertipu oleh buah.

Bayangkan: kamu membuka bungkus plastik berisi raspberry seharga 85 ribu per 100 gram. Kamu masukkan ke mulut. Rasa asam menghantam. Matamu berair. Tapi kamu paksakan tersenyum.

“Enak ya…”

Padahal jambu klutuk di halaman rumah bisa bikin senyum alami. Tapi siapa mau selfie dengan jambu klutuk?

Di sinilah tragedi modern dimulai: kita lebih memilih sakit gigi yang Instagrammable daripada sehat yang tidak bisa dipamerkan.


Bab 7: Dari Lumbung Pangan ke Lumbung Gengsi

Indonesia seharusnya lumbung pangan. Tapi kini berubah jadi lumbung gengsi.

Kita ekspor nanas, impor jus nanas. Kita panen mangga, tapi beli mango-flavored bar dari luar negeri. Kita tumbuh pisang, tapi lebih suka makan pisang yang sudah dikeripikkan di Kanada dan dikirim kembali ke Jakarta dalam kemasan glossy.

Dan untuk buah-buah berry itu? Kita tanam rasa iri terhadap bangsa sendiri.

Ironi yang menempel manis di lidah, tapi pahit di batin.


Bab 8: Siapa yang Menentukan Apa Itu Buah Bergengsi?

Apakah buah harus punya visa agar dihormati?

Apakah harus menempuh jarak 10.000 kilometer agar mendapat tempat di etalase?

Dan apakah semua yang datang dari luar otomatis lebih baik?

Berry tidak pernah salah. Tapi sistem ekonomi yang memelihara persepsi palsu—itulah akar dari satir ini. Kita memuja buah kecil dari negeri dingin, tapi mencibir buah besar dari pekarangan sendiri.

Padahal, tidak ada yang lebih nikmat daripada mangga matang di pohon yang kamu tanam sendiri. Tanpa stiker harga. Tanpa kemasan. Tanpa perlu alasan untuk menyukainya.


Bab 9: Solusi Tak Perlu Muluk

Artikel ini bukan kampanye anti-berry. Tidak.

Tapi ini adalah ajakan untuk jujur: apakah kita benar-benar menyukai mereka, atau hanya menyukai citra yang mereka bawa?

Kita bisa makan blueberry dan tetap menghormati salak. Kita bisa menabur strawberry di pancake sambil tetap beli jambu air dari ibu-ibu penjual keliling.

Yang perlu kita ubah adalah persepsi bahwa buah lokal tidak keren.

Kita bisa buat packaging buah lokal jadi lebih manis. Kita bisa buat narasi tentang manggis seperti kita memuja acai bowl. Kita bisa buat iklan rujak seindah iklan smoothie.

Dan yang lebih penting: kita bisa bangga pada apa yang tumbuh di tanah kita.


Epilog: Satir Manis dengan Vitamin Kesadaran

Berry-berry bohong bukan karena buahnya berdosa. Tapi karena manusia suka hidup dalam citra. Kita rela membeli rasa palsu demi status. Kita anggap buah sebagai aksesori, bukan anugerah.

Mari berhenti mencibir buah lokal yang tak bisa bicara Inggris. Mari angkat derajat pisang goreng, rujak buah, jus alpukat, dan es duku. Mari berhenti menilai buah dari negara asalnya, dan mulai menilai dari rasa, dari tangan petani, dan dari kejujuran di baliknya.

Karena buah terbaik bukan yang paling mahal, bukan yang paling jauh datangnya, tapi yang menumbuhkan rasa cinta pada apa yang sudah kita miliki.

Dan kalau suatu hari kamu makan blueberry dan merasa biasa saja, jangan takut mengakuinya. Itu bukan dosa.

Itu pertanda kamu masih punya lidah lokal, dan itu… nikmat yang patut dirayakan.


Ditulis oleh tangan yang pernah menanam jambu, dipanjat waktu kecil, dan kini menulis dengan rasa lapar pada kejujuran hidup. Jika buah bisa bicara, mungkin mereka akan bilang: “Kami semua sama, asal kamu tahu cara menghargai.”




 

Berry-Berry Bohong

Monolog Satir oleh Pengembara Lidah: Japra


(Sambil berdiri di depan rak buah impor, bersandar pada trolley kosong yang hanya berisi gengsi)

Aku…
Seorang pencari buah hakiki,
yang nyasar ke lorong plastik penuh imajinasi.
Mataku terantuk pada kotak mungil,
berlabel "Blueberry – Premium Imported from USA"
Harganya? Lebih mahal dari nasi padang lima lauk.
Rasanya? Belum tahu. Tapi katanya… kaya vitamin dan Instagram.

Katanya...
Katanya...
Katanya...

Ah, dasar hidup ini terlalu banyak "katanya"
hingga lidahku kehilangan rasa,
dan dompetku kehilangan alasan.


(Mengangkat satu kotak raspberry seperti mengangkat kitab suci zaman digital)

Beginikah zaman sekarang menilai buah?
Bukan dari manisnya,
tapi dari jarak tempuh kontainernya?

Bukan dari aroma tanah tempat tumbuhnya,
tapi dari seberapa banyak kata Inggris di labelnya?

“Raspberry dipetik saat bulan purnama. Penuh mimpi antioksidan.”

Oh, bahkan buah pun kini harus bisa berpuisi.
Sementara duku di kebun nenekku
hanya bisa diam, manis, dan tidak selfie-able.


(Menatap kamera pengintai minimarket, lalu bicara pada bangsa virtual)

Kamu di sana… ya, kamu!
Yang makan stroberi bukan karena suka,
tapi karena mau tampak kaya!

Yang masukkan blueberry ke smoothie,
padahal lebih suka es cendol dari kaki lima.

Kamu yang mencibir jambu air
karena warnanya tak fotogenik.
Kamu yang berkata dengan mulut penuh kesombongan:
“Jambu itu kampungan!”

Padahal kampung itu tempat rasa asli tak perlu harga.


(Menggigit satu buah raspberry. Berkerut.)

Asam.
Asam sekali.
Seperti wajah mantan saat aku telat jemput.

Tapi aku tetap kunyah, demi ilusi.
Demi ilusi bahwa aku adalah manusia modern
yang lidahnya tak perlu nikmat—asal terlihat clean eating.

Lidahku bukan lagi alat merasakan,
tapi alat menyaring tren dan algoritma.


(Berjalan pelan ke rak buah lokal. Menunduk penuh rasa bersalah)

Salak… maaf ya.
Aku sudah terlalu lama tinggalkanmu.
Manggis… aku kangen manis tanpa drama darimu.
Duku… kau selalu sabar menunggu.

Tapi apa daya, dunia ini lebih memilih buah dengan visa,
daripada buah dari dusun sebelah.

Buah kini seperti selebritas—
yang dinilai bukan dari isi,
tapi dari lokasi syuting.


(Berlagak seperti host acara kuliner TV palsu)

Selamat datang di acara
“Makan Demi Gengsi!”
Hari ini kita akan makan buah yang tidak kita suka,
hanya agar terlihat relevan.

Tinggalkan pisang goreng nenekmu!
Tukar dengan granola dan chia seed yang entah tumbuh di mana!

Buah lokal terlalu… jujur.
Ia tidak tahu cara menipu kamera.
Ia tidak paham hashtag.
Ia tidak bisa viral.
Karena viral butuh editan,
sementara buah lokal cuma tahu jadi matang.


(Mimic influencer dengan nada mual)

“Hai guys! Hari ini aku makan raspberry imported,
terus lanjut yoga sambil minum air infused lemon.
Soalnya hidup sehat itu penting, apalagi pas lagi promo.”

#healing
#berriesarelife
#supportlocalbutnotreally


(Berhenti. Diam. Menatap keluar jendela minimarket ke arah tukang rujak)

Tuh.
Di seberang sana, ada rujak buah.
Pepaya, mangga muda, jambu air,
dengan sambal kacang legendaris dari nenek moyang.

Murah.
Merakyat.
Meriah rasa.

Tapi tak ada label “premium”.
Tak ada kemasan bening.
Tak ada freezer pendingin.

Cuma ada kejujuran dalam gigitan.
Dan ketulusan dalam peluh si penjual.


(Dengan penuh amarah yang lucu)

Kenapa rujak tak bisa tampil di majalah kesehatan?
Kenapa jambu biji tak pernah dijadikan bintang film iklan?
Kenapa rambutan dianggap eksotis hanya saat ekspor?
Kenapa buah lokal harus menunggu orang bule yang memuji
baru kita ikut bangga?

Apakah kita kehilangan lidah kita sendiri?
Atau kita hanya kehilangan nyali untuk berkata:
“Buah lokal itu luar biasa, titik!”


(Tersenyum getir, lalu duduk di lantai supermarket seperti pujangga patah hati)

Mereka bilang:
“Jadilah sehat. Makanlah berry.”

Tapi mereka tidak bilang,
bahwa harga sehat bisa bikin dompet stroke ringan.

Mereka bilang:
“Buah itu sumber kebaikan.”

Tapi mereka tak bilang,
bahwa kini buah jadi alat marketing kehausan.

Aku jadi rindu saat buah cuma buah.
Bukan simbol strata.
Bukan aksesoris diet.
Bukan jalan pintas ke likes dan hearts.


(Bangkit pelan, lalu menatap penonton imajiner)

Jadi…
Mulai hari ini, aku akan membeli duku.
Aku akan makan salak pondoh sambil tersenyum.
Aku akan bawa jambu air ke kantor, dan kalau mereka bertanya:
“Kenapa nggak strawberry?”
Akan kujawab:
“Karena aku masih tahu cara membedakan rasa dan citra.”


(Menutup monolog sambil memegang dua buah: satu raspberry dan satu duku)

Dua buah. Dua dunia.
Yang satu asam, tapi dipuja.
Yang satu manis, tapi disia-siakan.

Dan aku,
seorang lidah biasa
di tengah pasar luar biasa,
hanya ingin berkata:

Berry-berry bohong…
kau bukan salah satu dari kami.

Kami adalah buah yang tumbuh dari tanah,
bukan dari algoritma.


Ditulis dalam gerutuan rasa lapar dan kecemasan sosial, oleh lidah yang menolak dikendalikan tren dan harga. Karena kebenaran… terkadang cuma perlu semangkuk rujak.

Post a Comment

0Comments

🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!

📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!

💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!

🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱

📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!

💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.

— Tim Wortelkenesia 🥕

Post a Comment (0)