Oposisi Kol: Lembut di Luar, Busuk di Dalam

Jeffrie Gerry
0


🍆🥦🥕😄

 Oposisi Kol: Lembut di Luar, Busuk di Dalam

Di sebuah negeri fiktif bernama Vegetaria, segala sesuatu adalah sayuran. Mereka hidup, berbicara, dan berpolitik layaknya manusia. Di pusat kota bernama Panci Rebus, berdiri sebuah istana megah dari daun selada, tempat berkumpulnya Dewan Sayur Nasional. Setiap keputusan penting ditentukan di sini: mulai dari distribusi pupuk, pengaturan cahaya matahari, hingga masalah besar seperti pengendalian hama.

Namun, suasana politik di Vegetaria sedang memanas. Di satu sisi berdiri Kubu Wortel, pemimpin lama yang dikenal keras, lurus, tapi kadang terlalu kaku. Di sisi lain muncul Oposisi Kol, kelompok baru yang mengusung slogan “Lembut di Luar, Peduli di Dalam”. Mereka menjanjikan perubahan, kelembutan, dan perhatian bagi seluruh sayuran, terutama bagi mereka yang sering terabaikan, seperti lobak, bayam, atau pare.

Setiap pagi, Kol — si pemimpin Oposisi Kol — tampil di alun-alun, dikelilingi lapisan daunnya yang mengilap. Dengan suara manis, ia berpidato, “Rekan-rekanku, sudah cukup kita diperintah oleh wortel keras yang hanya memikirkan akarnya sendiri! Kami di Oposisi Kol hadir untuk kalian, untuk mendengar jeritan daun-daun yang layu, untuk memeluk kawan-kawan yang hampir dibuang ke kompos!”

Penduduk Vegetaria terpesona. Bahkan Pak Kentang yang biasanya skeptis mulai berkata, “Wah, akhirnya ada yang lembut, bukan seperti Wortel yang kaku itu.” Pare yang selalu merasa pahit pun berkata, “Kalau Kol memimpin, mungkin aku bisa merasa manis sedikit.”

Tapi ada satu yang curiga: Bawang Merah. Dengan kulitnya yang mudah mengelupas, Bawang Merah tahu betul bahwa kelembutan luar tak selalu mencerminkan dalamnya. Ia mulai menyelidiki.

Suatu malam, Bawang Merah menyelinap ke markas Oposisi Kol. Dengan langkah hati-hati, ia memeriksa tumpukan kol yang berjajar rapi. Saat disentuh, daun-daun luar Kol memang terasa lembut. Tapi ketika Bawang Merah membuka lapisan demi lapisan… bau busuk menyengat keluar. Kol di dalam penuh jamur, membusuk, dan bahkan ada ulat-ulat kecil yang menari-nari puas.

Bawang Merah terkejut. Esok harinya, ia membawa temuan ini ke rapat umum di alun-alun. “Teman-teman sayur, jangan hanya tergoda kulit luar! Aku telah melihat isi dalam Oposisi Kol, dan percayalah, apa yang terlihat lembut, ternyata menyimpan kebusukan!”

Kol tak tinggal diam. Dengan suara memelas, ia berkata, “Ah, Bawang Merah, kau ini selalu membuat orang menangis. Tidakkah kau tahu, kami Kol juga punya masalah, tapi kami berjuang melawan pembusukan itu. Bukankah semua makhluk punya kekurangan?”

Penduduk Vegetaria mulai ragu. Apakah benar Kol busuk di dalam? Atau ini hanya fitnah politik?

Sementara itu, Kubu Wortel tak banyak bicara. Mereka sibuk bekerja, memastikan ladang mendapat cukup sinar matahari, memastikan hama terkendali. Perlahan-lahan, sayur-sayuran yang sebelumnya terpukau pada janji-janji Kol mulai melihat hasil nyata dari kerja keras Wortel.

Di satu kesempatan debat publik, Bawang Merah maju, membawa setengah Kol yang sudah dibelah. “Lihatlah isi dalamnya! Jangan hanya percaya ucapan manis. Jangan mudah tergoda penampilan luar.”

Pare yang dulu terpikat mulai sadar, “Benar juga. Aku pahit, tapi aku jujur. Sedangkan Kol, lembut di luar, tapi penuh kepalsuan di dalam.”

Pesan pembelajaran dari cerita ini sederhana tapi penting:
Jangan tertipu penampilan luar. Baik dalam hidup, pekerjaan, maupun politik, yang terlihat lembut, manis, atau memikat, belum tentu baik di dalam.
Berani memeriksa isi dalam. Seperti Bawang Merah yang tak takut mengelupas lapisan, kita harus berani melihat kebenaran, meski itu menyakitkan.
Perubahan nyata datang dari kerja, bukan janji. Kubu Wortel yang tampak keras justru membawa hasil nyata, sementara Kol hanya membawa janji kosong.
Setiap makhluk punya kekurangan, tapi yang penting adalah usaha memperbaiki, bukan menutupi. Kalau Kol benar-benar peduli, ia seharusnya memperbaiki kebusukannya, bukan menyembunyikannya di balik daun-daun indah.

Pada akhirnya, Vegetaria memutuskan untuk memberi kesempatan pada kerja keras daripada janji manis. Kol pun diberi waktu untuk memperbaiki dirinya, tapi tidak diperbolehkan memimpin sampai ia benar-benar bersih dari kebusukan.

Di penghujung cerita, Bawang Merah duduk di ladang sambil tersenyum. Meski sering membuat orang menangis, ia tahu, kadang kebenaran memang pedih, tapi itulah yang menyelamatkan.


ini versi kedua yang lebih liar, absurd, dan kocak:


Oposisi Kol: Lembut di Luar, Busuk di Dalam

(Versi Satir Liar dan Absurd dengan Plot Twist)

Di sebuah negeri bernama Vegetaria Ultra, semua sayuran hidup di bawah sistem demokrasi yang aneh: pemimpin dipilih bukan berdasarkan kerja keras, tapi… penampilan paling mengkilap. Semakin mulus daunnya, semakin cerah warnanya, semakin besar peluangnya jadi pemimpin.

Masuklah Kol Agung, seekor kol jumbo yang daunnya dilapisi lilin khusus agar selalu mengkilap seperti bodi mobil baru dicuci. Ia berdiri di panggung, melambai-lambaikan daunnya. “Rakyat Vegetaria, lihatlah aku! Lembut, manis, penuh kasih! Tidak seperti Wortel Kasar yang cuma bisa menusuk dengan akar kerasnya!”

Kerumunan sayuran bersorak: Pak Tomat berjingkrak-jingkrak, Nona Brokoli melambai-lambai, bahkan Pare yang biasanya galak jadi ikut senyum. Di belakang panggung, Wortel Kasar mendesah, “Halah… kalau cuma modal kilap, aku juga bisa poles pakai minyak goreng.”

Yang tak ikut terpukau hanya satu: Bawang Putih Detektif, sayuran kecil yang selalu curiga. Dengan kacamata hitam dan jas trench coat (ya, absurd, tapi namanya juga dunia sayuran), ia memutuskan mengintai Kol Agung.

Malam-malam, Bawang Putih menyusup ke vila Kol Agung. Saat Kol tertidur, Bawang Putih membuka lapisan luar Kol satu per satu… dan… BLARRR! Bau busuk menyembur keluar! Di dalam tubuh Kol, ternyata ada… daging cincang!

Bawang Putih terbelalak: “ASTAGA! Ini bukan cuma kol busuk… ini kol CARNIVORA!”

Ternyata Kol Agung adalah proyek rahasia dari ilmuwan gila — Pak Kentang Mutan — yang ingin menciptakan sayuran pemimpin kuat dengan menyatukan gen sayur dan daging. Tujuannya? Supaya Kol Agung bisa memakan lawan-lawannya, bukan sekadar debat kosong!

Di balik senyum lembutnya, Kol Agung ternyata berencana memakan seluruh anggota Dewan Sayur, mulai dari Wortel, Brokoli, hingga Lobak. Hanya Pare yang lolos, karena katanya: “Aku terlalu pahit, Kol nggak suka.”

Bawang Putih segera mengumpulkan semua sayuran. “Kalian harus tahu: Kol Agung bukan cuma busuk di dalam, dia literally kanibal!”

Tapi sebagian rakyat tidak percaya. “Ah, Bawang Putih, kamu kan sering bikin gosip,” kata Tomat. “Iya, kamu terlalu pedas bicaranya,” tambah Bayam.

Tak kehabisan akal, Bawang Putih menyiapkan strategi. Ia bekerja sama dengan Cabai Rawit Mafia, geng kecil tapi mematikan. Mereka menyusun rencana: besok di rapat akbar, Cabai Rawit akan menyelinap ke podium Kol, lalu meledakkan bom cabai — bukan untuk membunuh, tapi untuk membuka semua lapisan Kol sekaligus.

Hari besar pun tiba. Kol Agung naik panggung, bersiap berpidato manis. Tapi sebelum sempat bicara, BOOOM! Bom cabai meledak. Daun-daun Kol terkuak, dan terlihatlah isi dalamnya: daging cincang, cacing-cacing kecil, dan potongan wortel bekas kunyahan!

Kerumunan histeris. Tomat pingsan, Brokoli berteriak, bahkan Bayam berlari tanpa arah.

Pare hanya mengangkat bahu: “Makanya, dari dulu gue udah bilang, yang pahit itu jujur.”


Pesan Pembelajaran dari Versi Liar Ini:

Jangan tertipu janji manis atau penampilan luar. Kadang yang tampak lembut dan penuh kasih justru punya niat tersembunyi yang gelap.
Kalau ada masalah besar, hadapi bersama. Bawang Putih tak bisa mengalahkan Kol sendiri; ia butuh Cabai Rawit, Pare, dan semua sayuran lain.
Berhati-hatilah pada eksperimen aneh yang ingin mencampur dua hal yang seharusnya tak dicampur. Dalam hidup nyata, jangan memaksakan gabungan ide yang tidak etis.
Kadang yang pahit lebih jujur daripada yang manis. Pare, meski pahit, konsisten; Kol, meski lembut, ternyata penuh kepalsuan.
Keberanian berbicara penting. Kalau Bawang Putih diam saja, Vegetaria sudah habis dimakan Kol Kanibal.




Dialog

🌽 Dialog Panjang: Malam Pengungkapan Kol Busuk 🌽

(Di ruang rahasia di bawah tanah, Bawang Putih memanggil rapat darurat semua pemimpin sayuran. Di sana hadir Pare, Cabai Rawit Mafia, Tomat, Brokoli, Wortel, dan tentu saja Kol Agung — yang belum tahu bahwa rahasianya akan segera terbongkar.)


Bawang Putih (menyeringai kecil, menyalakan proyektor):
“Teman-teman, malam ini aku panggil kalian bukan sekadar untuk minum jus wortel bersama. Aku punya sesuatu yang harus kalian lihat.”

Tomat (bingung):
“Kenapa serius banget, Bawang? Kita kan biasanya rapat sambil main UNO.”

Brokoli (mengangguk setuju):
“Iya, Bawang. Aku baru masak popcorn daun, jangan-jangan keburu dingin.”

Pare (bersedekap, datar):
“Diam dulu, dengar dia. Biasanya yang bawang bicara itu penting, meski baunya nyengat.”

Kol Agung (tersenyum lembut):
“Aduh, Bawang… jangan tegang begitu. Kita kan semua di sini keluarga. Apa pun masalahmu, kita bisa selesaikan baik-baik, kan?”

Bawang Putih (mengklik remote, layar memperlihatkan rekaman tersembunyi Kol memakan potongan wortel):
“Baik-baik katamu, Kol? Bagaimana dengan ini?”

(Ruangan hening. Tomat membuka mulut lebar, Brokoli menjatuhkan popcorn, Cabai Rawit Mafia saling melirik sambil menggenggam korek api kecil.)


Wortel (gemetar):
“Itu… itu aku! Maksudku… potongan aku… dipanggang… DIPANGGANG!”

Kol Agung (menghela napas, lalu perlahan tersenyum lebih lebar):
“Ah, Bawang… kau memang cerdik, ya. Aku selalu mengagumi caramu mencium bau busuk di balik apa pun. Tapi kali ini… kau salah mengendus.”

Bawang Putih (mencondongkan badan ke meja):
“Salah? Aku lihat langsung isi dalammu, Kol. Daging cincang, potongan wortel, cacing-cacing kecil. Kau bukan cuma busuk di dalam. Kau monster.”


Pare (pelan, nyaris berbisik):
“Aku sudah curiga dari dulu. Kol terlalu mulus. Terlalu manis bicara. Semua yang terlalu, pasti ada maksudnya.”

Cabai Rawit (Bos Mafia) (menyeringai, meletakkan satu bom cabai di meja):
“Kalau memang dia monster, kita tinggal BOOM! Ledakkan saja daunnya.”


Kol Agung (tertawa pelan, lalu mendadak meledak keras):
“Kalian pikir kalian siapa, hah? Aku bukan Kol biasa! Aku hasil eksperimen Pak Kentang Mutan! Aku sempurna! Kalian cuma… sayuran-sayuran sisa panen!”

Tomat (nangis, nyengir sambil gemetar):
“Aku… aku sisa panen? Padahal aku juara tomat hias tiga tahun berturut-turut…”

Brokoli (menggenggam tangan Tomat):
“Tenang, Tomat. Kita akan melewati ini bersama. Kita cuma harus… ya ampun, aku nggak tahu caranya.”


Bawang Putih (dingin):
“Kol, kau boleh sempurna di luar, tapi kami punya satu hal yang tak kau punya.”

Kol Agung (mengejek):
“Oh ya? Apa itu, wahai Detektif Bawang?”

Pare (tersenyum pahit):
“Kejujuran.”


(Ruangan kembali hening. Kol Agung menyipitkan mata. Cabai Rawit menggeser bom cabai mendekat. Bawang Putih berdiri, menatap langsung ke Kol.)


Bawang Putih:
“Kau takut pada satu hal, Kol. Bukan wortel, bukan brokoli, bukan tomat, bukan cabai. Kau takut pada satu hal: kebenaran yang disampaikan dengan lantang. Kau menang karena rakyat diam. Sekarang kami tak diam lagi.”

Kol Agung (tertawa kecil, menepuk daun-daunnya):
“Haha… lalu apa? Kalian mau bicara sampai aku roboh? Ayo, tunjukkan padaku, sayuran kecil.”


(Tiba-tiba, Pare melangkah maju. Semua terdiam. Pare, yang biasanya pahit dan disingkirkan dari meja makan, berdiri paling depan.)


Pare (datar, tajam):
“Kol, dengar aku baik-baik. Kau pikir kami bodoh. Tapi tahu apa? Kepahitan mengajarkan kami satu hal: kalau rasa manis itu palsu, cepat atau lambat, semua orang muak. Kau sudah busuk, Kol. Dan busuk itu tak bisa dipoles selamanya.”


Cabai Rawit Bos (mendecak, sambil menyalakan korek api):
“Cukup bicara. Saatnya ledakkan dia.”


Kol Agung (mendesah, membuka lapisan daunnya perlahan, memperlihatkan daging di dalam):
“Baiklah, kalian menang bicara. Tapi ingat… aku tak akan jatuh begitu saja.”

(Tiba-tiba, Kol melompat, menyerang Pare. Tapi Pare sigap mundur. Cabai Rawit melempar bom cabai, Bawang Putih meloncat menghindar. Ledakan kecil terdengar, membuka lapisan Kol satu per satu. Semua terkejut: di dalam Kol, ada… potongan sayuran lain yang hilang selama ini.)


Tomat (berteriak histeris):
“ITUUU… PETRUK LOBACK!!! DIA DULU KETUA DEWAN!!!”

Brokoli (gemetar):
“OH TUHAN, KITA SELAMA INI MAKANAN CADANGANNYA!”


Kol Agung (setengah roboh, menyeringai meski terluka):
“Kalian pikir mengungkap aku akan mengubah segalanya? Tidak, sayur-sayur kecil. Dunia kita sudah busuk lama sebelum aku datang. Aku cuma produk dari kebusukan itu.”


Bawang Putih (mengambil napas dalam, menatap semua sayuran):
“Dengar baik-baik semua. Ini bukan soal Kol saja. Ini soal bagaimana kita membiarkan penampilan memimpin, bukan isi. Kita harus berubah. Mulai sekarang, kita tak akan memilih pemimpin dari daun terkilap, tapi dari yang paling rela berkorban.”


Pare (pelan):
“Yang pahit rela dihina. Yang keras rela dipukul. Yang kecil rela dilupakan. Tapi semua itu demi kebaikan bersama.”


Cabai Rawit Bos (menyeringai):
“Dan kalau ada yang mulai gila kekuasaan, tinggal kita bumbui sedikit…”


(Kol Agung akhirnya tumbang, daunnya rontok satu per satu. Sayuran-sayuran lain berdiri mengelilinginya. Mereka sadar: masalah belum selesai, tapi setidaknya satu busuk sudah tumbang.)


🌿 Penutup Dialog: 🌿

Bawang Putih (menoleh pada semua):
“Ayo, teman-teman. Malam ini kita belajar satu hal: lebih baik pahit tapi jujur, daripada manis tapi mematikan.”

Pare (mengangguk):
“Aku tahu, aku nggak pernah populer. Tapi mulai sekarang, mungkin rasa pahitlah yang akan menyelamatkan kita.”

Tomat (tersenyum kecil, meski gemetar):
“Besok… boleh aku peluk kamu, Pare?”

Pare (tersenyum tipis):
“Nggak usah lebay, Tomat.”

Cabai Rawit Bos (tertawa keras):
“Besok pesta! Siapkan sambal!”

(Lampu ruang rahasia padam. Malam itu Vegetaria Ultra memulai bab baru — bab yang mungkin lebih pahit, tapi juga lebih jujur.)


Puisi

🔥 Puisi Monolog Satir (1000 Kata) 🔥
Judul: Oposisi Kol: Lembut di Luar, Busuk di Dalam
Ditulis oleh: Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


(Pengantar)
Malam ini aku berdiri di podium pasar,
di antara sayuran berbaris bak tentara,
dalam parade kebohongan hijau daun dan aroma segar.
Aku — Bawang Putih Detektif,
penyusup di balik dapur, pembongkar rahasia kubis yang tersenyum sopan,
si Kol Agung yang setiap helai daunnya berkata,
“Aku suci, aku bersih, aku pemimpin yang kau cari!”

Tapi malam ini,
dengarkan aku berbicara panjang,
sebab satireku bukan sekadar kata-kata pedas,
ini adalah tumpahan busuk yang kau sembunyikan, Kol!


(Monolog)

Hai, Kol!
Lembut kau bungkus dirimu, berlapis-lapis,
bagai janji politisi di podium—manis, sopan, menggoda.
Daunmu hijau pucat,
seperti wajah orang yang pura-pura peduli,
seperti ketua rapat yang selalu berkata,
“Kita dengarkan suara rakyat,”
padahal di belakang:
“Berapa persen keuntungan untukku, ya?”

Kol, Kol…
kau kira aku tak tahu isi dalammu?
Dagingmu remuk, basah,
berisi bangkai janji yang tak pernah kau tepati.
Kau bicara soal perubahan,
kau kampanyekan Vegetaria Baru,
kau pasang poster,
“Bersama Kol, Kita Hijau Bersih Makmur!”

Tapi aku selidiki,
di dapur gelap, di gudang bawah pasar,
apa yang kutemukan?
Potongan Pare yang kau buang karena terlalu pahit,
Wortel yang kau iris diam-diam karena terlalu keras,
Cabai Rawit yang kau kurung karena terlalu pedas,
semua demi menjaga citramu,
supaya orang bilang,
“Wah, Kol itu pemimpin yang ramah,
pemimpin yang santun,
pemimpin sayur masa depan!”

Ah, Kol…
kau lupa satu hal:
penampilan hanyalah lapisan tipis.
Dan aku, Bawang Putih,
tak pernah tertipu lapisan.
Aku dicacah, dicincang,
dan setiap serpihanku menguar bau tajam:
bau kebenaran.


Lalu, malam itu,
kau datang padaku,
dengan senyum melengkung manis,
dengan ucapan:
“Bawang, mari kita bicara baik-baik.”
Tapi aku tahu,
kau ingin merayuku,
menjanjikan kursi kehormatan di sampingmu,
asal aku berhenti mengendus bau busukmu.

Ah, Kol,
betapa lucunya kau!
Tak pernahkah kau belajar,
bahwa yang lahir untuk jujur tak bisa disuap?
Tak bisa dibungkam dengan satu mangkuk salad?


Aku ingat,
Pare pernah berkata:
“Lebih baik pahit di lidah,
daripada manis di bibir tapi meracun perut.”
Dan itulah dirimu, Kol,
racun manis yang menyamar.

Wortel pun bercerita padaku,
bagaimana dulu kau memujinya di depan,
lalu mengirisnya di belakang.
Cabai Rawit menggeram:
“Kol takut padaku,
karena aku tak bisa dipoles manis!”

Kol, Kol…
kau pikir seluruh pasar ini buta?
Kau pikir rakyat sayuran ini hanya peduli harga murah?
Tidak!
Mereka butuh pemimpin jujur,
bukan yang busuk di dalam,
bukan yang menjanjikan kebersihan tapi menyimpan bangkai janji.


(Lihat aku sekarang, berdiri di sini,
di depanmu,
di hadapan seluruh pasar,
mengumumkan kebusukanmu.)

Hai, tomat merah di pojok sana,
kau yang selalu tertawa-tawa:
bangunlah!
Jangan hanya jadi hiasan salad!

Hai, brokoli hijau yang gemetar:
beranilah!
Jangan cuma jadi pelengkap sup!

Hai, cabai rawit,
hai, pare,
hai, wortel,
semua dengar aku:
malam ini kita belajar,
bahwa pemimpin manis belum tentu baik,
bahwa pemimpin lembut belum tentu tulus,
bahwa yang berlapis daun hijau kadang menyembunyikan bangkai di tengah.


Ah, Kol…
aku tahu kau masih di sana,
mendengarkan monologku,
mencoba menyusun kata balasan.
Kau akan berkata,
“Aku melakukan ini demi rakyat!”
Tapi bukankah semua pemimpin busuk selalu berlindung di balik rakyat?

Kau akan berkata,
“Tak mudah memimpin sayuran yang keras kepala!”
Tapi, Kol, bukankah keras kepala itu artinya kami punya pendapat,
dan pendapat kami bukan untuk kau tekan?

Kau akan berkata,
“Aku harus menjaga harmoni!”
Tapi harmoni bukan berarti membungkam suara pedas cabai,
atau membuang pahitnya pare,
atau mengiris kerasnya wortel.
Harmoni adalah menerima semua rasa,
meski kadang tak sesuai lidahmu.


Jadi malam ini,
dengarkan aku, Kol.
Bukan aku saja yang bicara.
Seluruh pasar bersuara.
Pare berkata:
“Aku bangga jadi pahit,
asal aku jujur.”

Cabai Rawit berteriak:
“Aku kecil, tapi aku punya api,
dan api itu bukan untuk menghancurkan,
tapi untuk membakar kebohongan.”

Wortel mengangguk:
“Aku keras,
karena dunia sudah terlalu lembek.”

Brokoli berbisik:
“Aku mungkin rapuh,
tapi aku punya akar kuat.”

Tomat tersenyum pahit:
“Aku manis,
tapi aku tahu kapan harus asam.”


Dan aku, Bawang Putih,
aku tetap tajam,
tetap menusuk hidung siapa pun,
karena begitulah aku lahir:
untuk membongkar rasa,
untuk mengungkap bau,
untuk menyuarakan apa yang tertutup rapat.


Malam ini, Kol,
kami mencabutmu dari kursimu.
Bukan karena kau Kol,
bukan karena kami benci daunmu,
tapi karena isi dalammu sudah tak layak dikonsumsi.
Pemimpin yang busuk harus direbus,
atau dibuang ke tong kompos,
supaya kami belajar:
bahwa kami harus lebih baik,
lebih jujur,
lebih pahit jika perlu,
asal jangan busuk.


(Penutup Refleksi)
Pembaca,
kau tertawa melihat kami,
sayuran yang saling bertengkar,
sayuran yang saling menggulingkan.
Tapi diam-diam kau tahu,
ini bukan cuma cerita pasar.
Ini adalah cermin.
Cermin bagimu, bagiku,
bagi kita yang hidup di dunia penuh janji manis,
penuh pemimpin lembut yang ternyata busuk.

Jadi malam ini,
ambil pesan kami:
jangan tertipu lapisan,
jangan mudah tergoda wajah bersih,
dan jika kau harus memilih,
pilih yang mungkin pahit,
tapi jujur.

Lebih baik air mata kebenaran,
daripada senyum palsu kebusukan.

Selamat malam, Kol.
Selamat malam, pembaca.
Mari kita mulai hari baru,
dengan hati yang bersih,
dan perut yang kenyang oleh kejujuran.


🔥 Selesai. 🔥

Post a Comment

0Comments

🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!

📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!

💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!

🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱

📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!

💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.

— Tim Wortelkenesia 🥕

Post a Comment (0)