Pisang Berpolitik: Kulitnya Licin, Janjinya Manis

Jeffrie Gerry
0

 


PISANG BERPOLITIK: KULITNYA LICIN, JANJINYA MANIS

Di sebuah pasar buah bernama Pasar Rimbun, yang terletak di bawah pohon beringin tua, berkumpul semua buah-buahan dari segala penjuru. Ada Apel yang mengkilap merah, Jeruk yang cerah menyala, Anggur yang berkerumun dalam gerombolan ungu, Durian yang berduri tajam namun wibawanya tak diragukan, dan tentu saja — sang bintang hari itu, Pisang, si kuning mulus dengan senyum manis dan kulit yang begitu licin.

Hari itu bukan hari biasa. Ada pemilihan Ketua Pasar Rimbun, sebuah jabatan prestisius yang bertugas memimpin para buah, mengatur distribusi, menjaga ketertiban, bahkan menentukan siapa yang layak tampil di etalase depan pasar. Selama ini, posisi itu dipegang oleh Nanas, buah berduri yang terkenal tegas. Namun, kabar beredar bahwa Nanas akan turun jabatan demi pensiun menikmati jus tropis di villa pantai.

Pisang, yang biasanya santai tergantung di tandan, melihat peluang emas. “Inilah waktunya,” bisiknya sambil mengelus kulitnya sendiri yang mulai berbintik cokelat tapi tetap menggoda.

Kampanye Si Kulit Licin

Pisang mulai keliling pasar, membagikan janji-janji manis:

  • “Jika aku terpilih, aku pastikan Jeruk takkan diperas semena-mena lagi!”

  • “Aku akan membuat apel tampil di etalase utama bersama stroberi!”

  • “Anggur, aku akan bantu kalian tak lagi terjepit di keranjang sempit!”

  • “Durian, aku janji kulitmu takkan dilarang masuk supermarket!”

Setiap janji dilapisi senyuman lebar. Pisang tahu, kekuatannya ada di retorika — bukan kekuatan otot seperti Durian, bukan keanggunan seperti Apel, bukan keharuman seperti Melon. Pisang pintar berbicara, dan lebih pintar lagi mengelak.

Namun, yang tidak disadari buah-buahan lain adalah: Pisang juga terkenal licin. Saat dipertanyakan oleh Tomat, “Bagaimana kau mau melindungi kami semua jika kau sendiri mudah tergelincir?”, Pisang hanya tersenyum, “Bukankah itu justru kelebihanku? Aku lincah menghindari masalah.”

Debat Buah Nasional

Pada malam debat, seluruh buah berkumpul di bawah lampu-lampu kunang-kunang. Nanas yang akan pensiun duduk di kursi kehormatan, memegang tongkat pemimpin yang terbuat dari batang pohon. Kandidat utama malam itu adalah Pisang, Durian, dan Apel.

Durian membuka debat dengan nada keras:

“Aku kuat, aku berwibawa! Siapa yang berani usik pasar ini saat aku memimpin?!”

Apel berbicara dengan elegan:

“Aku membawa citra internasional. Kita bisa ekspor, kita bisa berkembang!”

Pisang? Dia hanya berdiri santai, melontarkan candaan, menggoda audiens:

“Teman-teman, apa gunanya kekuatan tanpa kelincahan? Apa gunanya kecantikan tanpa kehangatan? Ingat, siapa yang selalu ada di meja sarapanmu? Aku, Pisang!”

Sorak-sorai menggema. Pisang tahu, dia tak perlu jawaban konkret. Dia hanya perlu membuat semua senang.

Kemenangan yang Manis… atau Pahit?

Seperti yang sudah ditebak, Pisang menang. Hari itu dia diarak keliling pasar, diberi mahkota daun pisang, dielu-elukan sebagai pahlawan rakyat. Dia mencium bayi Kelengkeng, memeluk Pepaya, dan berpose dengan Salak.

Namun, hari-hari berlalu, janji-janji Pisang mulai… terpeleset.

  • Jeruk tetap diperas di kios jus.

  • Anggur tetap berdesakan di keranjang.

  • Durian makin jarang tampil di supermarket, karena baunya dianggap mengganggu.

  • Apel? Tetap diimpor dengan harga mahal, sementara apel lokal diabaikan.

Ketika Pisang ditanya, dia hanya tertawa, “Sabar, sabar. Semua perlu proses.” Tapi, dalam hati, dia tahu: dia tidak berniat memenuhi semua janji itu sejak awal.

Momen Refleksi: Kapan Pisang Tersandung?

Suatu hari, datanglah Angin Kencang yang mengacak-acak pasar. Banyak buah jatuh dari tempatnya. Pisang, yang berdiri di podium, terpeleset oleh kulitnya sendiri. Dia terjatuh, terduduk di tanah, dilihat oleh semua buah yang mulai sadar bahwa mereka telah tertipu janji manis.

Tomat, yang sejak awal curiga, menghampiri Pisang, “Lihatlah, akhirnya kau tergelincir oleh kulitmu sendiri.”
Pisang tertunduk, merasa kulit kuningnya kini hanya sisa-sisa yang mulai cokelat.

“Apakah aku terlalu licik? Apakah janji manisku hanya bualan?” pikir Pisang.

Di situlah, Nanas yang bijak datang menghampiri, menepuk bahu Pisang, “Nak, kepemimpinan bukan soal janji manis atau kelicinan mengelak. Ini soal keberanian menepati ucapan, meski pahit rasanya.”

Pelajaran untuk Para Buah (dan Pembaca)

Dari kisah Pisang Berpolitik, kita belajar beberapa hal penting:
Jangan hanya terpikat janji manis. Tanyakan selalu: apakah janji itu masuk akal? Bisa diwujudkan?
Pemimpin sejati bukan yang paling populer, tapi yang paling bisa dipercaya.
Kita semua bisa terpeleset oleh kelemahan kita sendiri jika tak mau belajar.

Pisang akhirnya belajar, bahwa kulit licin memang membuatnya lincah, tapi juga membuatnya mudah jatuh. Sejak hari itu, dia mulai berhati-hati dengan kata-katanya. Dia tak lagi asal berjanji, tapi mulai belajar mendengarkan, mulai bekerja meski perlahan.

Pasar Rimbun kembali damai. Durian, Apel, Jeruk, Anggur, Tomat, dan semua buah mulai bekerja sama, bukan hanya berharap pada pemimpin. Mereka sadar: perubahan bukan hanya soal siapa di atas, tapi juga soal apa yang kita lakukan bersama-sama.

Dan Pisang? Dia tetap kuning, tetap manis, tapi kini lebih bijak. Dia belajar bahwa politik bukan panggung lawak, bukan sirkus janji, tapi panggung nyata yang memengaruhi semua kehidupan.


Pesan Positif:
Dalam kehidupan (dan dalam politik!), jangan mudah terpikat janji manis tanpa bukti. Jangan pula mencibir pemimpin tanpa ikut bertanggung jawab. Kebaikan kolektif lahir dari kerja bersama, bukan sekadar memilih siapa yang paling pandai bicara. Jadi, jadilah seperti Pisang yang mau belajar, bukan Pisang yang hanya mau memikat. Karena pada akhirnya, janji manis tanpa bukti hanyalah kulit licin yang bikin kita sendiri tergelincir.

Kalau kamu pembaca hari ini tersenyum membayangkan Pisang berdiri di podium sambil melambai, ingatlah satu hal: di balik setiap janji, ada tanggung jawab yang harus dipikul. Mari kita semua, entah buah, manusia, atau siapapun, belajar memikulnya dengan sungguh-sungguh. 🍌✨

Post a Comment

0Comments

🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!

📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!

💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!

🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱

📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!

💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.

— Tim Wortelkenesia 🥕

Post a Comment (0)