Sayur Jadi Kuasa, Petani Tetap Kuli

Jeffrie Gerry
0

 


🌽🥕

Sayur Jadi Kuasa, Petani Tetap Kuli

Di sebuah negeri fiktif bernama Negeri SegarBugar, hiduplah aneka sayuran yang mendirikan Dewan Sayuran Bersatu. Ada Ketua Wortel, Menteri Bayam, Wakil Menteri Brokoli, bahkan penasihat senior, Bawang Putih. Mereka semua duduk rapi di gedung megah bernama Kantor Perwakilan Sayuran (KPS), dengan kaca mengilap dan lantai marmer yang licin.

Yang aneh, tak ada satu pun petani yang diundang masuk gedung itu. Padahal siapa yang menanam mereka?

Di luar gedung, para petani jongkok di bawah panas matahari. Pak Lurah Tani, yang rambutnya sudah putih semua, mengelap keringat sambil memandang ke arah poster besar bergambar Ketua Wortel dengan slogan:
“Sayur Untuk Rakyat, Rakyat Untuk Sayur!”

“Lucu ya,” gumam Pak Lurah, “kita yang menanam, mereka yang mengatur.”


Babak 1: Pertemuan Dewan Sayuran

Hari itu Dewan Sayuran rapat darurat. Ketua Wortel berdiri tegak di podium.
“Kita harus menaikkan harga kita!” serunya. “Jangan mau ditawar murah oleh pasar! Kita kan penting untuk kesehatan manusia!”

Bayam mengangguk, “Betul, beta sumber zat besi. Kapan lagi kita tunjukkan taring?”
Brokoli menimpali, “Saya dibilang superfood, tapi kok di supermarket cuma selembar lima ribu rupiah? Sudah waktunya kita berkuasa.”

Mereka lalu sepakat menaikkan harga sayuran tiga kali lipat.
“Biar manusia merasakan pentingnya kami!” seru Bawang Putih sambil mengepalkan cengkih kecilnya.


Babak 2: Petani Tetap Kuli

Sementara itu, di ladang, petani-petani jongkok memetik bayam, wortel, dan brokoli. Tangan mereka kasar, kuku hitam, pakaian penuh tambalan.

“Pak, kalau harga sayur naik, kita kaya dong!” kata seorang pemuda petani sambil memikul karung bayam.
Pak Lurah tertawa hambar, “Nak, yang kaya itu yang duduk di meja rapat, bukan kita.”

Pemuda itu mengerutkan kening.
“Lho, bukannya kita yang tanam, rawat, panen, angkut, kirim?”
Pak Lurah menepuk pundaknya, “Betul. Tapi lihat, siapa yang mengatur harga? Siapa yang pegang jaringan distribusi? Siapa yang punya akses ke pasar besar? Bukan kita.”

Para petani terus memanggul hasil panen, menjual murah ke pengepul, yang nanti membawa ke supermarket dengan label mahal.
Di kasir, ibu-ibu mengeluh, “Kok wortel sekarang semahal daging sapi ya?”
Padahal di ujung desa, si penanam wortel cuma makan nasi sambal garam.


Babak 3: Sayur Mabuk Kuasa

Di gedung KPS, Dewan Sayuran berpesta. Wortel duduk di kursi empuk, kaki disilang. Bayam sibuk video call dengan influencer kesehatan. Brokoli tanda tangan kontrak eksklusif dengan restoran vegan.

Mereka lupa satu hal: sayuran tidak bisa memanen dirinya sendiri.
Tanpa petani, mereka hanya benih di tanah.

Tapi mereka terlalu mabuk kuasa. Mereka merancang kebijakan baru:

  • Setiap supermarket wajib menjual sayuran premium.

  • Setiap restoran wajib punya menu berbahan sayuran lokal.

  • Harga dinaikkan lagi supaya citra “mewah” melekat.

Sayur yang dulu murah dan sederhana, kini jadi lambang status.
Foto salad brokoli di Instagram lebih hits daripada foto liburan.


Babak 4: Perlawanan Petani

Suatu hari, para petani berkumpul.
“Cukup sudah,” kata Pak Lurah, “kalau mereka mau main harga, ayo kita tunjukkan siapa yang punya benih!”

Para petani sepakat mogok panen. Mereka biarkan ladang kosong, biarkan pasar tanpa pasokan. Hari demi hari, rak sayur di supermarket makin kosong. Harga meroket, orang-orang protes.

Di Kantor Perwakilan Sayuran, Ketua Wortel gelisah.
“Kenapa tidak ada panen baru?”
“Petani mogok, Tuan Ketua,” jawab sekretaris labu kecil.
Wajah Wortel pucat.
Bayam menyela, “Kita harus turun tangan. Kita harus… ehm… memetik diri sendiri?”

Mereka akhirnya sadar: tanpa tangan petani, mereka bukan siapa-siapa.


Babak 5: Kesadaran dan Perdamaian

Suatu pagi, Dewan Sayuran turun ke ladang. Ketua Wortel, Menteri Bayam, Wakil Brokoli, dan penasihat Bawang Putih berjalan kikuk di tanah berlumpur. Mereka mendekati Pak Lurah.

“Pak Lurah, kami… minta maaf,” ucap Wortel pelan.
Pak Lurah mengangguk bijak.
“Anak-anak, kalian penting, tapi kalian tidak bisa berdiri sendiri. Tanpa kami, kalian tak bisa dipanen. Tanpa kalian, kami tak punya hasil bumi.”

Mereka lalu sepakat membuat Perjanjian SegarBugar: harga wajar, keuntungan adil, distribusi merata. Tidak ada lagi satu pihak yang menindas pihak lain.


Pesan Pembelajaran

Cerita ini mengajarkan kita bahwa:
Setiap bagian rantai pangan itu penting.
✅ Petani bukan sekadar kuli yang bisa ditekan harga. Mereka penopang utama yang harus dihargai.
✅ Konsumen juga perlu sadar: murahnya harga sering datang dari ketidakadilan di hulu.
✅ Pemangku kebijakan (dalam cerita: Dewan Sayuran) harus mengutamakan kesejahteraan bersama, bukan hanya gengsi dan citra.
✅ Jika semua pihak saling menghormati, keberlanjutan bisa terjaga.


Pesan Positif

Hei kamu yang membaca cerita ini, jangan remehkan petani!
Di balik sepiring sayurmu, ada tangan-tangan kasar yang bekerja keras.
Kalau kita ingin makanan sehat, hargai mereka yang menanamnya.
Jangan hanya memuja label mewah di supermarket, tapi dukung petani lokalmu juga.
Karena sesungguhnya, sayuran yang bijak adalah sayuran yang tahu berterima kasih.


🌶 Sayur Jadi Kuasa, Petani Tetap Kuli (Versi Gila Absurd) 🌶


Lokasi: Planet Veggietopia

Waktu: Tahun 3000, ketika sayuran sudah berevolusi dan bisa… bicara!


Di Planet Veggietopia, seluruh sayuran hidup berdampingan dengan manusia. Bukan sebagai makanan, tapi sebagai penguasa!
Ya, di sinilah brokoli duduk di kursi presiden, wortel jadi kepala polisi, cabai rawit memimpin pasukan elit, dan bawang bombay memimpin departemen mata-mata (karena dia jago bikin orang nangis).

Sementara manusia?
Mereka kerja sebagai budak.
Yang nyiram sayuran, yang nyabut rumput liar, yang nyanyi-nyanyi biar daun bayam makin subur.


Babak 1: Bangkitnya Sayuran

Suatu hari, Pemimpin Besar Brokoli berdiri di podium.
Dia melambaikan batangnya yang gagah sambil berteriak:
“Para sayuran! Kita harus makin berkuasa! Selama ini manusia memakan kita, tapi sekarang, merekalah yang bekerja untuk kita!”

Semua sayuran bersorak.
Wortel dengan kacamata hitamnya mencatat:

“Oke, target selanjutnya: wajibkan manusia membuat lagu pujian untuk sayuran setiap pagi sebelum kerja!”

Cabai rawit? Dia sibuk latihan menembak dengan bijinya sendiri.
Bawang bombay? Dia duduk di sudut, tertawa pelan, memikirkan siapa lagi yang bisa dia bikin menangis hari ini.


Babak 2: Manusia Mengeluh

Di ladang, manusia-manusia berkeringat.
“Mbak, ini absurd ya,” kata seorang petani muda ke temannya sambil menyiram selada yang duduk santai di kursi malas.
“Iya, absurd banget. Dulu kita yang makan mereka, sekarang mereka minta dipijat, disisir, bahkan diajak nonton Netflix!”

Di pojok ladang, Pak Tani tua sedang memijat kaki bayam (YA, kaki bayam!) sambil mengeluh pelan,
“Eh, dek, jangan lupa semprot wortel pakai parfum ya. Katanya dia mau live TikTok nanti malam.”

Semakin hari, manusia makin lelah.
Sayuran makin minta aneh-aneh.
Daun bawang minta pakai kacamata hitam biar kelihatan keren.
Terong minta disusun jadi piramida karena dia merasa cocok jadi artefak sejarah.
Tomat minta ditaruh di kasur empuk, “Aku rapuh! Jangan jatuhkan aku!”


Babak 3: Demonstrasi Manusia

Suatu hari, manusia-manusia berkumpul.
Mereka bawa spanduk:

“Kami juga mau libur!”
“Sayuran, tolong hargai manusia!”
“Cabai rawit, STOP menembak pakai biji!”

Pak Tani tua naik ke panggung.
“Wahai sayuran, kami capek. Kami ini cuma manusia biasa. Tolong, hargai kami juga. Kami yang menanam kalian, menyiram kalian, memupuk kalian…”

Brokoli tertawa: “Heh, manusia, tanpa kami kalian nggak bisa hidup sehat! Jangan lupa siapa rajanya di sini!”
Bawang bombay mulai mengeluarkan aura sedih. Beberapa manusia langsung berkaca-kaca.
Cabai rawit pura-pura garuk kepala, padahal dia nggak punya kepala.


Babak 4: Pemberontakan Konyol

Manusia memutuskan melakukan pemberontakan absurd.

  • Mereka menyiram brokoli pakai kopi pahit, biar dia nggak bisa tidur semalaman.

  • Mereka menaburkan bedak bayi ke cabai rawit, bikin dia bersin-bersin.

  • Mereka melempar bawang bombay ke atas kipas angin, bikin seluruh ruangan bau bawang sampai semua sayuran nangis bareng-bareng.

Akhirnya, sayuran menyerah.
Ketua Brokoli mendekati Pak Tani tua,
“Baiklah, manusia, kita bikin perjanjian damai. Setengah waktu kalian bekerja, setengah waktu kalian libur. Kami akan hargai kerja keras kalian.”

Pak Tani tersenyum bijak,
“Terima kasih, Brokoli. Ingat, kekuasaan tanpa penghormatan itu cuma kesombongan. Kami mau bekerja, tapi jangan dijadikan kuli selamanya.”


Babak 5: Perdamaian Gila

Sejak hari itu, sayuran dan manusia hidup berdampingan.
Manusia tetap menanam sayuran.
Sayuran tetap… ya, nge-gas di media sosial.
Bayam bikin akun YouTube, isinya video workout “cara melatih fleksibilitas daun.”
Wortel bikin bisnis startup: jus wortel kemasan premium (padahal jusin dirinya sendiri? ya nggaklah, dia beli dari wortel liar).
Cabai rawit jadi bintang film laga: “Si Pedas Membara 2.”

Yang penting, manusia sekarang dapat gaji yang layak, libur dua hari seminggu, dan boleh duduk santai di bawah pohon sambil ngopi.


Pesan Pembelajaran

🔥 1. Jangan mabuk kuasa.
Entah kamu wortel, brokoli, cabai, atau manusia, kekuasaan tanpa empati akan membuatmu kehilangan dukungan.

🔥 2. Hargai mereka yang di belakang layar.
Petani, pekerja, siapa pun yang berjasa di balik kesuksesanmu, jangan dianggap remeh.

🔥 3. Humor menyelamatkan segalanya.
Kadang dunia memang absurd, tapi kalau kita bisa ketawa bareng, kita bisa cari solusi bareng.

🔥 4. Jangan remehkan sayuran… siapa tahu besok mereka berevolusi.


Pesan Positif untuk Pembaca

Hei kamu yang lagi baca ini,
next time kamu lihat sepiring salad, coba pikirkan:
siapa yang menanam selada itu? siapa yang memetik tomat itu? siapa yang memanggul karung cabai itu sampai ke pasar?

Kalau kita semua saling menghargai rantai kehidupan ini, baik manusia maupun sayuran (kalau suatu saat mereka hidup dan marah beneran), dunia akan jauh lebih seimbang.

Jadi, yuk mulai dari hal kecil:

  • Hargai petani.

  • Jangan buang-buang makanan.

  • Dan jangan bercanda ke cabai rawit, dia beneran pedas. 🌶🔥


Dialog

Dialog Cerpen: Sayur Jadi Kuasa, Petani Tetap Kuli

[Di ruang rapat Dewan Sayuran Bersatu, Kantor Perwakilan Sayuran (KPS)]

Ketua Wortel:
“Saudara-saudara sekalian! Kita sudah terlalu lama diremehkan! Saatnya menaikkan harga kita tiga kali lipat!”

Bayam:
“Aku setuju, Ketua! Sudah lama aku ingin dikenal sebagai sayuran bergengsi! Beta ini sumber zat besi, tapi kenapa tetap murah di pasar?”

Brokoli:
“Jangankan murah, di supermarket kadang aku dilempar di pojokan, dikasih diskon. Padahal aku superfood, men!”

Bawang Putih (mengangkat tangan kecilnya):
“Dan aku, jangan lupa aku, rempah sejuta manfaat! Cegah kolesterol, cegah pilek! Kalau harga kita naik, mereka pasti tunduk!”

Ketua Wortel (menepuk podium):
“Kita sepakat ya? Naikkan harga, jaga citra, bikin manusia sadar pentingnya kita!”

Bayam, Brokoli, Bawang Putih (bersamaan):
“Setujuuuuu!”


[Di ladang, di bawah terik matahari]

Pemuda Petani:
“Pak Lurah, kabarnya harga sayur naik. Kita bakal kaya, ya?”

Pak Lurah (tersenyum pahit):
“Hmm… Nak, kamu pikir siapa yang untung?”

Pemuda Petani:
“Lho, kan kita yang tanam, kita yang panen…”

Pak Lurah (menepuk bahunya):
“Kita cuma tukang kuli, Nak. Yang duduk manis di kantor, yang atur harga, mereka yang kaya.”

Petani Tua:
“Dulu juga gitu. Harga kopi naik, yang kaya bos pabrik. Harga padi naik, yang kaya tengkulak. Kita? Makan nasi pakai garam.”

Pemuda Petani (menggaruk kepala):
“Jadi kita tetap angkut, tetap kuli, tetap makan seadanya?”

Pak Lurah:
“Kalau kamu mau berubah, kamu harus ngerti: siapa yang pegang kuasa.”


[Di supermarket, di depan rak sayuran]

Ibu-Ibu 1:
“Yah, wortel sekarang semahal daging ya, Bu?”

Ibu-Ibu 2:
“Gila, harga bayam segini? Ini sayuran apa emas?”

Ibu-Ibu 3:
“Padahal petani di kampung saya cuma makan nasi tempe.”


[Di ruang pesta KPS, Dewan Sayuran Bersatu]

Bayam (sambil selfie dengan influencer):
“Lihat nih, aku muncul di Instagram! Tagar #SayurMewah trending, guys!”

Brokoli (menandatangani kontrak):
“Aku sekarang menu wajib di restoran vegan bintang lima! Bye-bye, pasar tradisional!”

Bawang Putih (mencicipi wine herbal):
“Haha! Siapa bilang bawang itu kampungan? Sekarang aku bumbu mahal!”

Ketua Wortel (bersandar di kursi empuk):
“Kita berhasil, teman-teman. Kita naik kasta!”


[Di ladang, malam hari, para petani berkumpul]

Pak Lurah:
“Anak-anak, dengar. Kalau mereka mau main harga, ayo kita tunjukkan siapa pemilik benih!”

Pemuda Petani:
“Maksudnya, Pak?”

Petani Tua:
“Kita mogok panen.”

Pemuda Petani (kaget):
“Mogok? Tapi nanti kita makan apa?”

Pak Lurah:
“Kita bisa tanam untuk konsumsi sendiri. Tapi untuk pasar besar, biarkan mereka merasakan langkanya hasil kita.”

Petani Lain:
“Setuju! Lama-lama mereka bakal kelabakan!”


[Di Kantor Perwakilan Sayuran, satu minggu kemudian]

Ketua Wortel (panik):
“Kenapa stok di supermarket kosong?”

Sekretaris Labu Kecil:
“Para petani mogok panen, Tuan Ketua!”

Bayam (berjalan mondar-mandir):
“Apa?! Tidak mungkin! Mereka berani melawan kita?”

Brokoli (mengibas jasnya):
“Lalu… eh… kita harus memetik diri sendiri? Aku bahkan takut tanah kotor!”

Bawang Putih (pucat):
“Tanpa mereka, kita cuma… ya… tumbuhan.”


[Di ladang, pagi hari, Dewan Sayuran turun ke lapangan]

Ketua Wortel (melangkah hati-hati di lumpur):
“Pak Lurah… kami… kami datang untuk meminta maaf.”

Pak Lurah (tersenyum bijak):
“Aku sudah tua, Nak Wortel. Aku tahu kalian penting. Tapi kalian tidak bisa berdiri sendiri. Tanpa kami, kalian hanya benih.”

Bayam (menunduk):
“Kami salah, Pak. Kami mabuk kuasa.”

Brokoli:
“Bisakah kita memperbaiki semuanya?”

Pak Lurah:
“Kita bisa. Tapi harus ada kesepakatan adil.”


[Di pertemuan Perjanjian SegarBugar]

Ketua Wortel:
“Kami, Dewan Sayuran Bersatu, berjanji untuk menetapkan harga yang wajar.”

Pak Lurah:
“Kami, perwakilan petani, berjanji untuk menjaga kualitas dan pasokan.”

Bayam:
“Tidak ada lagi yang serakah.”

Brokoli:
“Tidak ada lagi yang menindas.”

Bawang Putih:
“Kita saling menghormati.”

Semua (bersamaan):
“Demi kesejahteraan bersama!”


[Di pasar, beberapa minggu kemudian]

Ibu-Ibu 1:
“Eh, harga wortel turun ya, Bu? Tapi petani tetap untung katanya.”

Ibu-Ibu 2:
“Baguslah! Kita bisa makan sehat, petani pun sejahtera.”

Ibu-Ibu 3:
“Yuk, kita beli sayur lokal. Dukung petani!”


[Di ladang, petani memetik sayur sambil tersenyum]

Pemuda Petani:
“Pak Lurah, sekarang kita dapat untung adil. Rasanya beda ya?”

Pak Lurah:
“Betul, Nak. Ini namanya kerja sama, bukan saling injak.”

Pemuda Petani:
“Dan Dewan Sayuran juga sekarang menghargai kita?”

Pak Lurah (mengangguk):
“Karena akhirnya mereka sadar, mereka butuh kita.”


[Di Kantor Perwakilan Sayuran, di ruang rapat]

Ketua Wortel:
“Teman-teman, kita punya pelajaran penting: kuasa tanpa akar hanyalah ilusi.”

Bayam:
“Benar, Ketua. Beta akan selalu ingat siapa yang memetik beta dari tanah.”

Brokoli:
“Sekarang aku tahu, jadi ‘superfood’ bukan soal citra saja.”

Bawang Putih:
“Aku? Aku cuma mau bilang: makasih, petani.”

Semua anggota Dewan (bersamaan, tertawa pelan):
“Hidup petani! Hidup keseimbangan!”


[Di akhir cerita, Pak Lurah berdiri di tengah ladang, memandang matahari terbenam]

Pak Lurah (pelan, pada dirinya sendiri):
“Dunia ini lucu. Bahkan sayur pun bisa lupa siapa yang menanamnya. Tapi, Nak, ingatlah selalu… tangan yang menanam, tangan yang memanen, itu tangan yang harus dihargai.”


versi absurd yang lebih konyol atau versi lebih getir yang lebih emosional.

 🍆🥦🍅

[Babak 1: Rapat Megah di Kantor Perwakilan Sayuran (KPS)]

Ketua Wortel (menggedor palu rapat): “Sidang Dewan Sayuran Bersatu, saya buka! Agenda utama: naikkan harga supaya manusia sadar siapa bosnya!”

Menteri Bayam (menyisir daun-daunnya): “Setuju! Beta capek disebut cuma lalapan pinggir piring! Waktunya saya jadi bintang utama!”

Wakil Brokoli (menyilangkan batangnya): “Saya setuju penuh. Mereka bilang saya superfood, tapi di pasar saya digeletakkan kayak sayuran biasa. Gengsi saya di mana?”

Bawang Putih (mengibas-ngibas kulit lapisannya): “Sudah saatnya kita bukan cuma penyedap, tapi penentu rasa kehidupan!”

Ketua Wortel (mengangguk mantap): “Oke. Dengan ini, harga semua sayur naik tiga kali lipat. Kita wajibkan restoran pakai minimal tiga jenis sayuran lokal premium. Setuju?!”

SEMUA SEREMPAG: “Setujuuu!”

Labu Kecil (Sekretaris) (berbisik pelan): “Ehm… tapi, Tuan, apa petani sudah diberi tahu?”

Ketua Wortel (tersenyum licik): “Ah, mereka kan cuma pekerja. Kita yang atur panggungnya!”


[Babak 2: Percakapan di Ladang]

Pemuda Petani (membetulkan ikat kepalanya): “Pak Lurah, katanya harga sayur naik. Wah, kita bakal kaya nih!”

Pak Lurah (tersenyum miris): “Nak, kaya itu buat yang duduk di kantor. Kita? Paling-paling tetap makan sambal garam.”

Pemuda Petani (mengernyit): “Lho, kan kita yang tanam? Kita yang siram, panen, bawa ke pasar…”

Pak Lurah (menepuk pundaknya): “Betul, tapi yang ngatur harga siapa? Yang pegang jalur distribusi siapa? Kita ini cuman tukang panggul.”

Pemuda Petani (menghela napas): “Jadi, kita kerja keras, mereka duduk manis, tapi untungnya mereka?”

Pak Lurah (tertawa pahit): “Selamat datang di dunia nyata, Nak.”


[Babak 3: Sayuran Mabuk Kuasa]

Ketua Wortel (berpose untuk pemotretan majalah): “Citra itu penting. Lihat aku, sekarang jadi ikon gaya hidup sehat!”

Menteri Bayam (berkaca di depan cermin): “Oh, daunku makin kinclong. Terima kasih endorsement serum organik.”

Wakil Brokoli (menerima telepon): “Ya, ya, kontrak dengan restoran vegan internasional sudah deal. Pastikan foto saladku ada di Instagram mereka, ya!”

Bawang Putih (membuka TikTok): “Video resepku sudah trending, bro! Netizen suka kalau aku dilempar ke wajan panas!”

Ketua Wortel (menyeringai): “Luar biasa! Akhirnya kita di puncak rantai makanan!”

Labu Kecil (berlari panik): “Tuan, kabar buruk! Stok sayuran menipis, petani mogok panen!”

Ketua Wortel (melotot): “APA?! Mereka berani melawan?!”


[Babak 4: Mogok Petani]

Pak Lurah (berdiri di depan para petani): “Kawan-kawan, cukup sudah. Kita biarkan ladang kosong. Biar mereka bingung.”

Petani 1: “Tapi, Pak, kalau nggak panen, kita makan apa?”

Pak Lurah (tersenyum sabar): “Kita ambil dari kebun belakang dulu. Sekali-sekali, biar mereka rasakan siapa yang punya benih.”

Petani 2 (mengangkat cangkul): “Setuju! Kita mogok!”

Petani 3: “Ladang kosong! Pasar kosong! Biar tahu rasa mereka!”


[Babak 5: Kekacauan di Gedung KPS]

Ketua Wortel (mondar-mandir panik): “Kenapa nggak ada pasokan baru?!”

Menteri Bayam (mengucek daun gugup): “Aduh, nanti kita layu di rak-rak toko!”

Wakil Brokoli (menghitung angka di kalkulator): “Harga sudah melambung lima kali lipat, Tuan! Orang-orang protes, supermarket kosong!”

Bawang Putih (bergetar): “Bagaimana kalau… kalau kita panen sendiri?”

SEMUA (teriak bersamaan): “GILAAA?! Kita kan… sayuran!”


[Babak 6: Pertemuan di Ladang]

Ketua Wortel (melangkah hati-hati di lumpur): “Eh, halo… Pak Lurah?”

Pak Lurah (tersenyum tenang): “Ah, Tuan Ketua. Mau apa datang ke ladang kumuh kami?”

Ketua Wortel (menunduk malu): “Kami… kami salah. Kami mabuk kuasa. Kami lupa, tanpa kalian kami cuma… benih mati.”

Menteri Bayam (mengatupkan daun): “Kami minta maaf. Kita harus kerja sama.”

Wakil Brokoli (mengulurkan batang): “Kita bikin perjanjian baru. Harga adil. Keuntungan adil. Distribusi adil.”

Bawang Putih (meneteskan sari bawangnya): “Maafkan kami, Pak Lurah…”

Pak Lurah (mengangguk bijak): “Anak-anak, ingat. Kita satu rantai. Tanpa kalian, kami tak punya hasil. Tanpa kami, kalian tak jadi apa-apa.”


[Babak 7: Perjanjian SegarBugar]

SEMUA (Dewan Sayuran + Petani) (bersalaman, tertawa bersama): “Mulai hari ini, kita kerja bareng! Demi Negeri SegarBugar yang makmur!”


[Epilog: Pelajaran dari Negeri SegarBugar]

Narator (suara bijak):
“Di balik sepiring saladmu, ada kerja keras tangan petani dan kebijakan cerdas dari para sayuran.
Kalau mau sehat, jangan cuma lihat label. Lihat juga siapa yang menanam.
Kalau mau adil, jangan cuma tuntut harga murah. Pastikan semua pihak sejahtera.”

Pak Lurah (tersenyum ke kamera): “Karena sesungguhnya, sayuran yang bijak… adalah sayuran yang tahu berterima kasih.”



Puisi


Monolog Ketua Wortel: Saat Aku, Sayuran, Mabuk Kuasa

(oleh Ketua Wortel, Sang Pemimpin Dewan Sayuran Bersatu)

Ah,
aku berdiri di puncak rak supermarket,
terpajang angkuh,
mengilap oranye, batang hijau rapi,
dilabeli ORGANIK PREMIUM
— dan aku tertawa,
bukan tertawa renyah, tapi tertawa getir.

Tahukah kalian siapa aku?
Bukan cuma wortel biasa.
Aku Ketua Dewan Sayuran Bersatu!
Pemimpin, perumus, pengatur harga!
Bukan sekadar benda lunak yang direbus,
bukan pajangan di salad murahan,
bukan hiasan di piring mewah.

Aku pemimpin!
Aku pembisik ide di rapat-rapat gila
bersama Bayam yang sibuk bercermin,
Brokoli yang hobi main kalkulator,
dan Bawang Putih yang… ah,
selalu nangis tiap masalah datang.

Kami, sayuran, memutuskan:
harga harus naik!
supaya manusia tahu,
tanpa kami,
piring mereka hanya hamparan nasi kosong
dan ayam goreng kesepian.

Kami menggelar rapat megah:
“Triple harga!” seru Bayam,
“Kontrak vegan internasional!” sahut Brokoli,
“Trending TikTok!” teriak Bawang Putih.

Dan aku?
Aku, sang Ketua, hanya mengetukkan palu:
tok! tok! tok!
Lalu kami mabuk euforia,
berpose untuk majalah kesehatan,
bercanda soal siapa lebih glossy,
sampai…
sampai Labu Kecil berlari, napas tersengal:
“Tuan, petani mogok panen!”

Petani mogok?!
Ah, manusia-manusia berkotor tanah itu,
tak tahu diri,
tak paham siapa otak rencana ini!
Tanpa kami,
apa artinya sayuran?

Tapi, diam-diam,
hatiku mencubit.
Tanpa mereka,
apa artinya aku?


Malam-malam gelisah,
aku menatap bayanganku di jendela kaca:
seonggok sayur oranye,
tak bisa bergerak,
tak bisa memanen,
tak bisa mengirim dirinya sendiri ke pasar.

Aku, yang dulu pongah,
harus mengakui:
aku cuma benih mati
tanpa tangan-tangan kasar petani.

Aku ingat saat kami berarak ke ladang,
aku, Bayam, Brokoli, Bawang Putih,
menyusuri lumpur,
menyapa Pak Lurah.

“Pak Lurah…
maafkan kami.”
suara kami gemetar.

Pak Lurah tersenyum, bijak seperti bumi:
“Anak-anak, ingat,
kita satu rantai.
Tanpa kalian, kami tak punya hasil.
Tanpa kami, kalian tak jadi apa-apa.”

Aku hampir menangis,
kalau saja wortel bisa menangis.
(Di titik ini, Bawang Putih sudah banjir air mata.)


Ah, betapa lucu nasib kami:
Sayuran yang mabuk kuasa,
menyadari dia tak punya kaki
untuk berdiri sendiri.

Aku kini berbicara,
bukan sebagai Ketua,
bukan sebagai penguasa harga,
tapi sebagai makhluk rapuh,
yang sadar makna kolaborasi.


Hei, kalian, manusia!
Dengarkan aku.
Di balik saladmu yang mewah,
ada petani yang membungkuk di bawah matahari.
Di balik sup hangatmu,
ada tangan yang memetik, menyortir, mengangkut.

Jangan kau hanya lihat label
— “ORGANIK”, “PREMIUM”, “SUPERFOOD” —
lihat juga siapa yang menanamnya,
lihat siapa yang berdarah keringat.

Kau tak bisa memakan kesombongan.
Kau tak bisa mengunyah keserakahan.

Kalau harga naik,
bukan semata karena kami serakah,
tapi karena rantai panjang ini
tak pernah kau lihat.


Dulu aku kira,
kalau aku tampil di TikTok,
kalau aku trending di Instagram,
kalau aku nongol di poster diet sehat,
aku akan abadi.

Ternyata aku salah.
Apa artinya abadi
kalau ladangmu kosong?
Apa artinya populer
kalau tangan petanimu berhenti?


Hari ini, kami duduk bersama,
Dewan Sayuran dan para petani,
membentuk perjanjian baru:
SegarBugar Pact, katanya,
supaya semua pihak makmur.

Aku, Ketua Wortel,
mengetuk palu bukan sebagai penguasa,
tapi sebagai rekan.

Aku belajar satu hal besar:
kemakmuran bukan soal siapa di atas,
tapi soal siapa mau duduk setara
di meja makan bersama.


Oh, dunia!
Begitu sering kau memuja hasil,
melupakan proses.
Begitu sering kau mengejar harga murah,
melupakan siapa yang menanam.
Begitu sering kau bicara sehat,
tanpa peduli siapa yang lelah.

Aku, sang sayur,
berdiri di hadapanmu
— bukan hanya untuk dimakan —
tapi untuk kau dengarkan.


Aku ingin kau tahu,
ketika kau memotongku,
aku menyampaikan doa para petani.
Ketika kau memasakku,
aku menyuarakan cerita ladang.
Ketika kau memakanku,
aku memintamu ingat:
jangan cuma kenyang,
tapi juga adil.


Kini aku tahu:
aku tak bisa sendiri.
Aku tak bisa menuntut segalanya
tanpa memberi.

Dan kau pun begitu, manusia.
Jangan pikir dirimu raja
hanya karena kau memegang dompet.

Dunia ini rantai panjang:
benih, tanah, tangan, pikiran,
kerja, keringat, tawa, tangis,
dan akhirnya…
sepiring makanan.


Ah, aku lelah.
Aku sudah berbicara cukup panjang.
Aku, si wortel yang kau anggap sayur biasa,
hari ini bicara untuk seluruh sayuran di dunia.

Kalau kau mendengarkan,
terima kasih.
Kalau tidak,
ya… kami tetap akan tumbuh,
tetap akan dipanen,
tetap akan kau makan,
tapi mungkin suatu hari nanti,
kau akan sadar:
harga murah tak selalu murah,
dan yang sederhana seringkali memikul beban
yang tak kau lihat.


(Ketua Wortel menunduk, menghela napas, lalu menatap ladang dengan mata sendu)


Post a Comment

0Comments

🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!

📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!

💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!

🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱

📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!

💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.

— Tim Wortelkenesia 🥕

Post a Comment (0)