Rambutan Politik: Berbulu, Berduri, Berisi Janji

Jeffrie Gerry
0

 


Rambutan Politik: Berbulu, Berduri, Berisi Janji

Pendahuluan: Antara Buah dan Kuasa

Di tengah pasar kehidupan, manusia disuguhi berbagai pilihan: buah manis, buah pahit, bahkan buah busuk. Tapi ada satu jenis buah yang tampaknya cocok sebagai metafora perjalanan kekuasaan di negeri ini: rambutan. Buah ini berbulu, berduri lembut, warnanya menarik hati, tetapi kadang isinya hanya janji manis yang mengecoh. Lalu, apa jadinya jika kita menyebut "rambutan politik"? Sebuah simbolik dari bagaimana kekuasaan dimainkan: menggoda dari luar, rumit di dalam, dan tak selalu sepadan dengan yang dijanjikan.

Artikel ini akan mengupas tuntas wajah politik Indonesia melalui kacamata “rambutan”: tajam, jenaka, manusiawi, namun menggugah nurani. Siapkan hati, mari kita buka kulitnya.


Bab 1: Politik Itu Berbulu — Indah Namun Membelit

Setiap kali musim pemilu tiba, jalanan dihiasi senyum palsu dalam baliho besar. Tangan-tangan yang dulu menggenggam kekuasaan kini menjelma jadi tangan dermawan: membagikan nasi bungkus, menyalami rakyat kecil, bahkan menggendong bayi. Semua dilakukan demi satu hal: mendulang suara. Itulah “bulu” dalam rambutan politik — halus di permukaan, namun bisa membelit jika tak waspada.

Politik memang punya seni membungkus diri. Dalam pidato, semua terdengar anggun. Rakyat disebut sebagai "pemilik negara", padahal dalam praktiknya, sering kali hanya jadi "pelengkap penderita" dalam paragraf kekuasaan. Kata-kata manis seperti “reformasi”, “keadilan sosial”, dan “demokrasi substansial” dilontarkan, namun realitanya sering kabur di tengah aroma kekuasaan.

Bulu-bulu politik ini tumbuh dari strategi komunikasi yang lihai. Mereka belajar cara menyentuh emosi, bukan menyelesaikan masalah. Rakyat diminta haru, bukan logis. Hasilnya, kita sering lupa membedakan antara ketulusan dan kalkulasi. Kita terpesona oleh rambut halus buah rambutan, padahal belum tentu dagingnya sesuai ekspektasi.


Bab 2: Politik Itu Berduri — Tajam, Kadang Menyakiti

Setelah pemilu usai, rambut-rambut halus itu tiba-tiba punya duri. Duri dalam bentuk kebijakan yang menyakiti, pajak yang mencekik, janji yang tak ditepati, dan peraturan yang berpihak pada segelintir elite. Rakyat mulai merintih, tapi suara mereka sering tak terdengar.

Duri ini juga bisa bermakna dendam politik, balas budi jabatan, atau permainan kekuasaan antar elite. Kita saksikan drama politik seperti sinetron panjang: penuh intrik, pengkhianatan, bahkan manipulasi hukum. Rakyat hanya jadi penonton yang dibodohi, atau malah dijadikan tameng saat konflik elit makin panas.

Duri juga tampak saat perbedaan pendapat dibungkam. Ketika kritik dibalas intimidasi. Ketika suara rakyat kecil dianggap “huru-hara” dan aspirasi dianggap “hasutan”. Demokrasi berubah jadi istilah kosong, hanya sekadar prosedur lima tahunan, bukan kebebasan hakiki.

Di sinilah rakyat merasakan bahwa buah yang tadinya tampak menggoda kini menampakkan sisi tajamnya. Mereka tersadar bahwa rambut-rambut lembut itu menyembunyikan duri kekuasaan yang tajam dan menyakitkan.


Bab 3: Politik Itu Berisi Janji — Tapi Bukan Selalu Isi yang Mengenyangkan

Salah satu daya tarik rambutan adalah daging buahnya yang manis. Begitu juga dalam politik: janji-janji yang menggoda, slogan yang menggetarkan hati, dan visi-misi yang tampak agung. Tapi kadang kita lupa bahwa tidak semua rambutan berisi daging tebal — ada yang tipis, ada yang kering, ada yang malah kosong.

Begitu pula dalam politik. Janji dibangun dengan retorika hebat: “akan membangun dari pinggiran”, “menekan angka kemiskinan”, “memperjuangkan rakyat kecil”. Tapi setelah duduk di kursi empuk kekuasaan, janji itu berubah jadi nostalgia. Yang diingat bukan lagi rakyat, tapi transaksi, proyek, dan lobi.

Kita seperti terus-menerus membeli rambutan, berharap setiap kali akan lebih manis. Tapi berapa banyak dari kita yang kecewa saat mengupas buah itu dan mendapati hanya sedikit daging, bahkan menempel erat pada bijinya. Politik pun begitu — selalu menjanjikan kemakmuran, tapi kenyataan sering kali menggambarkan yang sebaliknya.


Bab 4: Rakyat Sebagai Tukang Kupas

Dalam seluruh cerita rambutan politik ini, siapa yang paling dirugikan? Ya, rakyat. Mereka yang dari dulu sampai sekarang hanya jadi “tukang kupas” buah: membuka kulitnya, menanggung tajamnya duri, berharap manisnya daging buah. Tapi apa daya, kadang justru mereka yang tercekit bijinya.

Rakyat mencoblos, berharap perubahan. Mereka rela libur kerja, ikut kampanye, bahkan ada yang bertengkar karena beda pilihan. Tapi setelah pemilu usai, suara mereka menguap. Mereka kembali harus mengantre untuk subsidi, bersabar atas inflasi, dan melihat kekayaan negeri dikuasai kelompok tertentu.

Rakyat itu bukan tidak tahu. Mereka sadar akan permainan elit. Tapi di banyak kasus, mereka tak punya pilihan lain. Mereka terlalu sering dikhianati, namun juga terlalu lelah untuk melawan. Maka mereka pun bertahan — dengan doa, harapan, dan secuil kepercayaan bahwa suatu hari, rambutan itu akan benar-benar manis.


Bab 5: Haruskah Kita Menanam Rambutan Sendiri?

Jika politik hari ini hanya menghasilkan buah yang berduri dan menjanjikan manis semu, maka mungkinkah kita menanam rambutan sendiri? Maksudnya bukan secara harfiah, tapi politik alternatif. Politik yang tumbuh dari akar rumput, bukan dari kepentingan partai besar.

Sudah saatnya kita merombak paradigma. Politik bukan sekadar soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tapi bagaimana kekuasaan digunakan untuk melayani. Bukan tentang kampanye, tapi tentang konsistensi. Bukan tentang narasi, tapi aksi nyata.

Mungkin sudah waktunya bagi rakyat membentuk komunitas sadar politik, bukan sekadar relawan saat musim kampanye. Membentuk koperasi rakyat, desa mandiri, dan media alternatif. Karena hanya dengan cara itu, kita bisa menanam sendiri “pohon rambutan” yang tak berambisi, tapi berfungsi.


Bab 6: Membedah Isi Janji — Antara Fakta dan Harapan

Salah satu ironi besar dalam rambutan politik adalah ketidakmampuan rakyat membedakan antara janji yang realistis dan janji yang bombastis. Hal ini terjadi karena edukasi politik yang dangkal dan ketergantungan pada tokoh karismatik, bukan ide.

Rakyat jarang diajak berdialog tentang kebijakan. Mereka lebih sering diajak bernostalgia atau dijanjikan “kesejahteraan instan”. Maka ketika janji gagal ditepati, rakyat kecewa. Tapi tragisnya, mereka tetap memilih orang yang sama di pemilu berikutnya.

Ini bukan hanya soal kebodohan, tapi trauma historis. Rakyat terlalu sering dipermainkan. Maka saat diberi setetes harapan, mereka genggam erat, walau tahu itu mungkin palsu.


Bab 7: Kembali ke Hati — Politik dengan Nurani

Apa mungkin politik dijalankan dengan nurani? Jawabannya: mungkin, tapi sulit. Sangat sulit.

Namun bukan berarti mustahil. Masih ada pemimpin jujur. Masih ada yang bekerja diam-diam tanpa gembar-gembor. Tapi suara mereka tenggelam dalam gemuruh pencitraan. Kita yang harus menggali, bukan hanya mengandalkan apa yang tampil di layar kaca.

Politik dengan nurani bukan utopia. Ia bisa tumbuh jika masyarakat berani berubah. Jika pemuda turun tangan, jika ibu-ibu melek literasi kebijakan, jika petani tahu haknya, dan jika kita semua berhenti menyerahkan hidup pada elite yang hanya datang saat butuh suara.


Penutup: Kupas Rambutanmu Sendiri

Politik bukan panggung hiburan. Ia bukan sekadar parade senyum dan janji. Ia adalah seni mengelola hidup orang banyak, seni menyeimbangkan keadilan dan kesejahteraan.

Jika selama ini kita hanya melihat rambut dan warna rambutan, sekarang saatnya kita belajar mengupas dan mencicipi isinya. Jangan terbuai oleh kulit. Jangan silau oleh baliho. Kupas dan cicipi. Karena jika kita tetap pasrah, maka selamanya kita hanya akan diberi kulit dan biji — tanpa daging buahnya.

Mari kita bijak memilih, kritis mengawasi, dan berani menanam rambutan politik kita sendiri — yang tidak hanya berbulu dan berduri, tapi benar-benar manis dan mengenyangkan.


Artikel ini dibuat berdasarkan refleksi pribadi penulis yang menyaksikan sendiri dinamika politik Indonesia dari pinggiran masyarakat. Ditulis dengan hati, bukan sekadar opini.


Monolog Rambutan Politik

Puisi Satir oleh Suara yang Tak Pernah Didengar


Aku rambutan.
Buah kampung.
Lahir di musim pemilu.
Dipetik bukan karena rasa,
tapi karena tampangku yang merah menyala.

Katanya aku manis,
katanya aku segar.
Tapi kau tak pernah benar-benar tanya,
apakah aku betul-betul berniat memberi rasa?


Lihat rambutku.
Halus, lebat, menggoda.
Seperti janji yang ditulis di baliho,
"Untuk Rakyat. Dari Rakyat. Oleh Rakyat."
Ah, bahkan aku bisa tertawa.


Aku berduri.
Iya, tapi lunak katanya.
Lunak saat kau tak menyentuh kekuasaan,
tajam saat kau bersuara berbeda.


“Duri itu biasa, namanya juga politik,”
kata mereka,
yang suka berdiri di atas panggung,
berteriak, tapi tak pernah turun ke lumpur.


Mereka kupas aku satu-satu,
sambil tersenyum manis ke kamera.
Menggigit dagingku yang tipis,
lalu ludahkan bijiku ke jalan-jalan becek
tempat anak-anak mengais harapan.


Aku, rambutan,
adalah metafora negeri ini.
Bersolek, berkampanye, bersumpah.
Tapi hanya segelintir yang tahu,
betapa getir isi dalamku.


Bulu-bulu ini bukan estetika.
Ia adalah kamuflase.
Agar rakyat tidak melihat luka di dagingku.
Agar janji bisa terlihat mewah
meski isinya hampa.


Ada yang bilang aku “rambutan reformasi.”
Ada pula yang sebut aku “rambutan pembangunan.”
Tapi apakah kau tahu?
Setelah 10 musim,
aku tetap begini-begini saja.


Kadang aku iri pada mangga.
Paling tidak, dia jujur:
kalau asem ya asem.
Kalau manis, ya manis.
Tidak perlu menyamar.


Aku juga iri pada pisang.
Dia tidak berbulu.
Tidak berdrama.
Dia datang, dimakan, selesai.


Tapi aku?
Aku harus tampil di poster.
Diambil gambarnya dalam keranjang.
Dijadikan hiasan di panggung pidato,
lalu dilupakan begitu suara dikumpulkan.


Suatu hari,
anak kecil bertanya padaku:
"Rambutan, kenapa rambutmu aneh?"
Aku jawab:
"Supaya aku terlihat beda, Nak.
Padahal sama-sama busuk di dalam."


Lalu datang orang tua:
"Kenapa rasa kamu nggak seperti dulu?"
Aku jawab:
"Karena tanah yang menanamku sudah penuh racun.
Janji pupuk subsidi hanya angin lalu."


Waktu berlalu.
Aku tetap dipetik.
Dikupas.
Disingkirkan.
Dan musim berikutnya,
aku diundang kembali ke panggung demokrasi.


Katanya,
aku lambang harapan baru.
Katanya,
aku akan dibudidayakan dalam visi-misi.
Padahal aku tahu,
aku hanya alat kosmetik dari sistem yang penuh debu.


Ada yang jadi walikota,
pakai jas, foto dengan latar belakang petani rambutan.
Tapi lupa,
petani itu utangnya belum lunas sejak kampanye.


Mereka kampanye dengan kata “kemandirian pangan”.
Tapi isi dapurnya makanan impor.
Mereka janji “revitalisasi desa”,
tapi lebih sering hadir di seminar kota.


Ah, rambutanku pun rontok melihatnya.
Begitu banyak akting,
begitu sedikit aksi.
Begitu banyak retorika,
begitu minim logika.


Dulu aku bangga dipajang di meja gubernur.
Kini aku malu.
Karena dagingku cuma numpang wangi.
Isiku sudah tak lagi bergizi.


Mereka janji:
akan tanam 10 juta pohon rambutan.
Tapi yang tumbuh justru kebun sawit,
menggunduli tanah,
menghilangkan tempatku bertumbuh.


Rakyat datang bawa keranjang kosong.
Berharap pulang bawa manis.
Tapi pulang hanya bawa kulit dan biji,
dan rasa pahit di ujung lidah.


Tapi rakyat tetap sabar.
Mereka bilang:
“Yah, paling tidak kita masih bisa makan bijinya.”
Bahkan penderitaan pun,
mereka bungkus dengan humor.


Aku rambutan.
Buah kampung dengan popularitas musiman.
Ketika musim kampanye datang,
aku dielu-elukan.
Saat musim panen selesai,
aku dibuang seperti lembaran visi-misi tak terpakai.


Kadang aku berpikir:
Apa aku memang tak ditakdirkan untuk tulus?
Apa setiap rambut di tubuhku
hanya simbol dari rumitnya tikungan politik?


Tapi lalu suara kecil menyela:
“Tidak semua rambutan buruk.”
Ada yang tetap manis,
tetap jujur.
Tumbuh dari tangan petani,
bukan dari lobi-lobi gelap.


Dan aku terdiam.
Mungkin benar.
Mungkin belum terlambat.
Mungkin masih ada harapan
di balik rambut-rambut ini.


Jika kau ingin manis dariku,
jangan hanya pilih kulit merahku.
Lihat akarnya.
Lihat tanah yang menumbuhkan.
Dan tanyakan: siapa yang menyiramnya?


Kalau ingin perubahan,
jangan tunggu musim pemilu.
Tanam pohonmu sendiri.
Rawat dengan jujur.
Dan jangan tergoda warna.


Karena dalam politik rambutan,
yang menang bukan yang paling manis,
tapi yang paling pintar menyembunyikan busuknya.


Dan aku?
Masih di sini.
Dalam keranjang demokrasi.
Menunggu, apakah kau akan mengupasku
dengan mata terbuka
atau tetap buta oleh kemasan semu?


Aku rambutan.
Buah yang kau pilih tiap musim,
tapi tak pernah kau kenal sungguh.
Aku rambut di kepalamu
yang sering tertiup angin janji,
tapi tak pernah disisir dengan akal sehat.


Dan dalam setiap gigitanmu,
kau sebenarnya sedang menelan satu lagi
potongan harapan
yang bisa saja jadi racun
atau penawar.

Terserah kau.

Post a Comment

0Comments

🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!

📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!

💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!

🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱

📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!

💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.

— Tim Wortelkenesia 🥕

Post a Comment (0)