Srikaya Dilema: Antara Tradisi dan Modernitas
Di balik aroma harum srikaya yang manis dan menyegarkan, tersembunyi kisah panjang tentang akar budaya, pergeseran zaman, dan perjuangan eksistensi. Buah tropis yang dahulu menjadi sajian istimewa di meja nenek, kini kerap tersingkir oleh buah impor dalam kemasan plastik rapi. Di sinilah dilema srikaya bermula—antara mempertahankan jati dirinya dalam tradisi, atau merias diri demi bersaing dalam modernitas.
Ketika Srikaya Adalah Cerita Masa Kecil
Dulu, srikaya bukan sekadar buah. Ia adalah kenangan. Ia tumbuh di pekarangan rumah, di pinggir sawah, di sudut-sudut desa yang kini mulai dilupakan. Anak-anak memanjat pohon srikaya dengan riang, menggoyangkan dahan untuk menjatuhkan buah yang matang. Tak perlu harga, tak perlu kemasan. Hanya perlu tangan penuh tanah dan senyum puas.
Srikaya adalah bagian dari ekosistem lokal. Ia tak tumbuh karena dikomersialkan, tapi karena dicintai. Warga percaya pada khasiatnya, bukan hanya untuk kesehatan, tapi juga sebagai simbol kesuburan dan rezeki. Pohon srikaya dibiarkan tumbuh liar, karena keberadaannya menyatu dengan kehidupan sehari-hari.
Tapi itu cerita dulu. Sekarang, anak-anak lebih mengenal stroberi Korea, jeruk Australia, atau apel Washington, ketimbang srikaya yang tumbuh di halaman rumah sendiri.
Buah Tradisional yang Terancam Terpinggirkan
Di era globalisasi ini, estetika mendominasi pasar. Bentuk harus simetris, warna harus menarik, dan daya tahan harus panjang. Dalam kriteria itu, srikaya kalah telak. Ia mudah memar, berkulit kasar, dan bentuknya tak bisa diprediksi. Tapi siapa yang peduli pada rasa jika penampilan tak menjual?
Pedagang di pasar pun mulai ragu. Srikaya tidak tahan lama, cepat busuk jika tidak segera laku. Sementara buah impor dengan teknik rekayasa penyimpanan mampu bertahan berminggu-minggu. Konsumen pun ikut latah. Mereka membeli apa yang "kelihatan keren" untuk dipamerkan di media sosial, bukan yang mengandung nilai gizi dan sejarah panjang.
Srikaya menjadi simbol dari banyak hal tradisional yang mulai dilupakan: tak praktis, tak menarik, dan dianggap “kuno”. Padahal, dalam dirinya, terkandung pelajaran tentang kesabaran, kesederhanaan, dan koneksi manusia dengan alam.
Modernitas: Menggoda Sekaligus Menjauhkan
Modernitas menawarkan kemudahan, kecepatan, dan daya saing. Tapi ia juga membawa ancaman bagi banyak warisan lokal yang tak mampu beradaptasi. Kita hidup di era “branding”, di mana segala hal harus punya nilai jual. Buah pun tak lepas dari strategi pemasaran. Jika srikaya ingin bertahan, ia harus mengikuti permainan ini.
Beberapa upaya mulai muncul. Srikaya dikemas dalam bentuk selai, dodol, atau es krim. Label “produk organik” mulai ditempelkan untuk menarik pasar urban. Bahkan ada yang membuat minuman fermentasi dari srikaya sebagai inovasi kuliner modern.
Namun, pertanyaannya tetap sama: apakah dengan mengubah bentuk dan fungsi, srikaya masih bisa disebut srikaya? Apakah ketika ia dibungkus plastik dan diberi barcode, ia masih punya jiwa yang sama?
Inilah dilema besar yang dihadapi bukan hanya oleh srikaya, tapi oleh seluruh kekayaan lokal yang sedang berdiri di perempatan jalan antara mempertahankan identitas atau menyesuaikan diri dengan pasar.
Warisan yang Perlu Dilestarikan
Srikaya bukan hanya tanaman. Ia adalah representasi dari banyak hal: keberagaman hayati, kebijaksanaan lokal, dan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Di banyak daerah, pohon srikaya masih digunakan sebagai obat tradisional. Daunnya dipercaya bisa mengobati luka, bijinya untuk terapi herbal, dan buahnya menyegarkan tubuh.
Ini adalah ilmu yang tak diajarkan di kampus kedokteran modern, tapi diwariskan dari mulut ke mulut. Jika srikaya punah, bukan hanya rasa manisnya yang hilang. Tapi juga seluruh pengetahuan, cerita, dan kearifan yang mengikutinya.
Sayangnya, saat ini srikaya lebih dikenal sebagai “buah yang bikin males ngupas” dibandingkan sebagai tanaman herbal serba guna. Inilah yang perlu kita ubah—cara pandang terhadap warisan.
Antara Pasar dan Pangan Lokal
Indonesia dikenal sebagai negeri tropis yang kaya akan buah-buahan lokal. Namun ironisnya, buah lokal justru kerap terpinggirkan di negeri sendiri. Srikaya, nangka, sawo, dan duku harus bersaing dengan anggur Chile, apel Fuji, dan pir Tiongkok yang membanjiri pasar swalayan.
Ini bukan hanya soal selera, tapi juga kebijakan. Subsidi, distribusi, dan promosi banyak difokuskan pada produk luar. Petani lokal dibiarkan berjuang sendiri menghadapi pasar yang tak adil.
Padahal, jika ditata dengan baik, srikaya bisa menjadi ikon pangan lokal yang mendunia. Negara-negara seperti Thailand dan Vietnam mulai mengekspor buah lokal mereka dengan kemasan modern dan branding yang kuat. Kenapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama untuk srikaya?
Srikaya dan Dunia Digital
Zaman sekarang, eksistensi ditentukan oleh seberapa viral sesuatu di internet. Srikaya bisa saja menjadi tren jika dikemas dengan cara yang kreatif. Misalnya, membuat konten tentang manfaat srikaya, resep olahan srikaya, hingga video edukatif tentang proses penanaman srikaya.
Petani muda bisa menjadi “influencer pertanian” yang mengenalkan srikaya ke generasi milenial. Sekolah bisa mengadakan program “adopsi pohon lokal” agar anak-anak mengenal langsung tanaman warisan.
Bahkan UMKM bisa mengembangkan merek berbasis srikaya—mulai dari parfum, teh herbal, hingga skincare alami. Dunia digital membuka peluang, tapi kita harus kreatif memanfaatkannya.
Jalan Tengah: Modernisasi Tanpa Kehilangan Akar
Modernitas tidak selalu berarti kehilangan jati diri. Justru ia bisa menjadi alat untuk melestarikan, jika digunakan dengan bijak. Srikaya tidak harus menjadi korban kemajuan. Ia bisa ikut berkembang, asal tetap mempertahankan akar budayanya.
Kuncinya adalah edukasi dan kolaborasi. Pemerintah, petani, pengusaha, dan konsumen harus punya visi yang sama: menjaga keberagaman hayati dan memperkuat ketahanan pangan lokal. Kampanye tentang pangan lokal perlu diperluas, bukan hanya sebagai nostalgia, tapi sebagai solusi masa depan.
Di tengah krisis iklim dan ketergantungan impor, srikaya dan buah lokal lainnya bisa menjadi andalan. Mereka tumbuh tanpa banyak pupuk, tahan terhadap cuaca tropis, dan lebih berkelanjutan secara ekologis.
Penutup: Membela Srikaya, Membela Diri Sendiri
Apa yang terjadi pada srikaya hari ini adalah cerminan dari apa yang terjadi pada budaya kita secara umum. Saat kita kehilangan buah-buahan lokal, kita juga kehilangan bagian dari diri kita. Kita kehilangan kenangan, kehilangan nilai, kehilangan identitas.
Membela srikaya bukan hanya soal mempertahankan satu jenis buah, tapi mempertahankan keberagaman. Dunia yang terlalu seragam akan terasa hambar. Srikaya, dengan segala ketidaksempurnaannya, justru memberi warna yang khas pada kehidupan.
Mungkin saatnya kita berhenti mengejar buah dari jauh, dan mulai kembali pada rasa yang tumbuh di tanah sendiri.
Artikel ini dibuat berdasarkan refleksi pribadi penulis yang tumbuh di lingkungan pedesaan, di mana srikaya adalah teman masa kecil, dan kini menyaksikan buah itu nyaris hilang dari ingatan. Penulis percaya bahwa mempertahankan srikaya adalah bagian dari mempertahankan rasa cinta pada tanah air.
Monolog Srikaya: Aku Buah Tersingkir dari Negeri Tropis
Karya: Jeffrie Gerry, Pujangga Digital
(Pembukaan – Nada Liris & Penuh Luka)
Namaku srikaya,
aku bukan selebgram rasa anggur,
bukan buah ekspor yang disembah di supermarket,
hanya tumbuh malu-malu
di pekarangan nenek yang kini jadi ruko.
Aku manis, tapi nasibku pahit.
Kulitku kasar,
tapi hatiku lembut dan jujur.
Tapi di zamanmu,
yang kasar dibuang,
yang palsu dijunjung.
(Nada Kesal – Sambil Menertawakan Nasib Sendiri)
Lihat mereka—jeruk impor dengan stiker harga,
melon Korea dibungkus bubble wrap
dan aku?
Aku tergeletak di tanah,
tak laku, dianggap kuno,
buah ‘zaman old’ yang mengganggu feed Instagram.
Katanya aku tak instagramable.
Terlalu acak bentuknya,
tak cocok jadi model di tangan-tangan influencer.
Maaf ya,
aku tak sempat kursus ‘aesthetic’.
(Parodi Kemajuan – Sarkasme untuk Globalisasi)
Dulu aku dipanjat,
sekarang aku ditinggalkan.
Anak-anakmu sibuk panjat ranking,
bukan panjat pohon.
Katanya demi masa depan,
tapi masa lalunya dibuang ke tong kompos.
Mereka bilang:
“Kalau bisa beli apel dari Eropa,
kenapa harus makan buah halaman sendiri?”
Ah iya,
buah lokal itu simbol kemunduran katanya.
Padahal,
yang betul-betul mundur itu yang tak kenal akarnya.
(Nada Ironis – Buah yang Terlalu Jujur untuk Pasar Modern)
Aku tak bisa berbohong seperti buah kemasan.
Aku tak tahan disimpan berbulan-bulan,
tak bisa disemprot lilin,
tak bisa tampil beku di freezer.
Aku jujur, cepat matang,
cepat busuk kalau tak dicinta.
Bukankah begitu juga cinta yang murni?
Cepat layu kalau tak disirami perhatian.
Tapi zamanmu menginginkan yang abadi,
yang tahan lama meski rasanya plastik.
Jadi aku tersingkir,
karena aku nyata.
(Nada Geram – Kritik pada Konsumen Lupa Diri)
Kalian cari yang viral,
bukan yang vital.
Yang trending, bukan yang tumbuh di tanahmu.
Srikaya tak trending,
tak bisa dijadikan emoji buah cinta.
Lalu aku dilupakan,
karena tak punya branding.
Pernah kau pikir,
buah sepertiku pernah jadi obat,
daunku menyembuhkan,
bijiku menyegarkan,
tapi kamu lebih percaya iklan minuman bersoda.
(Nada Sindiran untuk Para Pedagang & Pasar Modern)
Pasar swalayan itu lucu,
buah lokal harus bersertifikat,
buah impor cukup dilabeli negara.
Petani srikaya itu pejuang,
tapi tanpa panggung.
Ia tak viral,
tak masuk vlog,
tak diundang ke podcast.
Padahal tangan kasarnya menyelamatkan bumi.
Tapi siapa yang peduli?
Kalian lebih suka petani jagung yang muncul di sinetron.
(Nada Reflektif – Bicara tentang Akar dan Identitas)
Aku bukan sekadar buah.
Aku adalah pohon kenangan,
buah dari masa kecil,
saksi canda di bawah langit desa.
Kini,
desa pun malu mengakuiku.
Pohonku ditebang,
ditukar dengan tiang WiFi.
Tanahku dikapling,
dijadikan lokasi café urban.
Anak-anakmu tak tahu namaku,
tapi hafal nama buah dari Jepang.
Apa salahku?
Karena aku tak berbahasa asing?
(Nada Satir – Menyindir Pemerintah & Kebijakan Pasar)
Pemerintah bilang:
“Cintai produk lokal!”
tapi anggarannya mengalir ke festival ekspor.
Aku dijadikan logo lomba kampung sehat,
tapi tak pernah dimasukkan ke program bantuan bibit.
Lucu ya,
simbol dipakai, sumbernya dilupakan.
Aku ini nasionalis,
tapi negaraku alergi pada rasa sendiri.
Disuruh bersaing,
tapi sendirian di lapangan.
(Nada Paradoks – Menyoroti Kemunafikan Sosial Media)
Di Instagram, ada foto influencer yang bilang:
“Back to nature.”
Tapi ia pegang smoothie stroberi impor
di tengah hutan yang pohonnya baru ditebang.
Ada yang bikin konten:
“Pentingnya mencintai produk lokal!”
tapi kontennya direkam di café dengan kopi Brazil.
Dan aku?
Aku tetap jadi buah tanpa kamera,
tapi penuh rasa.
(Nada Harap – Ajak Generasi Baru untuk Melihat ke Belakang)
Kalian para muda,
yang hidup dengan peta digital dan pengantar online,
maukah sesekali menoleh ke pohon tua di belakang rumah?
Mungkin di sana,
aku masih ada,
menunggu tangan yang ingin memetik,
bukan tangan yang mengusir.
Aku tak butuh pujian,
cukup satu gigitan,
dan biarkan lidahmu berkata:
“Ini rasa yang pernah ada. Ini rumah.”
(Nada Penutup – Puisi atau Wasiat?)
Jika suatu hari aku punah,
jangan salahkan waktu.
Salahkan pilihan.
Sebab kalian lebih percaya buah dalam kardus
daripada buah di kebun sendiri.
Jika srikaya tak lagi tumbuh,
maka hilanglah satu rasa dari Indonesia.
Satu kenangan dari tanah tropis.
Satu cerita dari pelukan ibu bumi.
Dan kalian akan membeli rasa yang palsu,
dalam kemasan yang rapi,
dengan harga yang mahal,
tapi tak pernah benar-benar menyentuh hati.
Puisi ini kutujukan untuk generasi yang lupa pada pohonnya,
dan untuk siapapun yang ingin kembali pulang,
melalui rasa,
melalui akar,
melalui buah yang tumbuh dari tanah sendiri.
🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!
📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!
💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!
🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱
📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!
💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.
— Tim Wortelkenesia 🥕