Cempedak Beda Rasa: Politik Lokal vs Nasional

Jeffrie Gerry
0

 


Cempedak Beda Rasa: Politik Lokal vs Nasional

Oleh: Jeffrie Gerry (Japra)


Pendahuluan: Antara Rasa dan Kuasa

Cempedak. Buah tropis yang sering bikin galau lidah. Ada yang manis legit, ada yang getir sepat, bahkan ada yang cuma menang bau tapi hampa isi. Begitulah juga politik di negeri ini. Ada yang terlihat gagah di baliho, tapi loyo di lapangan. Ada yang nasionalis di televisi, tapi lupa kampung halaman saat pulang. Tak heran, banyak yang bertanya: mengapa politik lokal rasanya beda dengan politik nasional? Bukankah keduanya tumbuh dari pohon yang sama?

Ibarat cempedak yang dipetik di dua tempat berbeda, satu di tanah rawa, satu lagi di tanah pegunungan, meski kulitnya sama, dalamnya bisa mengejutkan. Itulah yang akan kita kupas: rasa cempedak politik di tingkat lokal vs nasional. Bukan untuk mengadu domba, tapi untuk memahami aroma kekuasaan yang sering membuat kita mabuk harapan.


Bab 1: Politik Lokal, Rasa Rumah Sendiri

Politik lokal adalah politik yang bisa kita cium baunya dari depan rumah. Wajah-wajah pelakunya tidak asing. Mungkin dulunya tetangga, saudara, teman ngaji, atau mantan tukang ojek depan gang. Mereka adalah cerminan kehidupan sehari-hari. Kemenangan mereka bukan ditentukan oleh iklan mahal, tapi oleh seberapa sering mereka hadir saat banjir datang, atau ikut gotong royong saat musim kawin nyamuk tiba.

Politik lokal bicara soal air bersih, jalan rusak, lampu mati, dan pasar becek. Masalahnya konkret. Dan kalau tak beres, protesnya pun konkret: dari lemparan telur busuk sampai digeruduk emak-emak. Di sini, rakyat bukan sekadar angka survei, melainkan tetangga yang bisa nyolek langsung.

Tapi jangan salah. Karena kedekatan itu pula, politik lokal juga penuh intrik mikro: politik arisan, politik RT/RW, politik bantuan sosial, hingga politik pengajian. Di sinilah muncul istilah “politik nasi kotak”—sederhana, hangat, tapi bisa menentukan masa depan lima tahun ke depan.


Bab 2: Politik Nasional, Rasa Panggung Besar

Sementara itu, politik nasional seperti cempedak yang dipajang di rak premium supermarket. Harumnya menguar, kulitnya mulus, dibungkus rapi dengan label “visi besar bangsa”. Tapi jangan coba gigit sebelum tahu isinya. Bisa jadi dagingnya tipis, atau bijinya besar sekali.

Politik nasional lebih banyak bicara soal ideologi, strategi global, dan kebijakan makro. Di layar kaca, mereka berseteru soal utang negara, investasi asing, dan geopolitik kawasan. Namun jarang bicara soal jalan becek di desa, atau air keruh di ujung kampung.

Tokoh-tokoh politik nasional sering terjebak dalam orbit media dan algoritma. Yang penting bukan seberapa nyata kerja mereka, tapi seberapa viral ucapannya. Mereka menjadi selebritas demokrasi, yang lebih peduli pada rating ketimbang realitas. Bahkan, debat publik lebih sering menjadi ajang teater daripada penyampaian solusi.


Bab 3: Rasa yang Sama, Tapi Pemetik yang Berbeda

Mungkin kita bertanya, bukankah politik lokal dan nasional lahir dari sistem demokrasi yang sama? Bukankah mereka sama-sama dipilih rakyat? Mengapa terasa beda?

Jawabannya: akar boleh sama, tapi tanah tempat tumbuhnya berbeda.

Politik lokal tumbuh di tanah basah: lembap oleh kebutuhan rakyat, subur oleh kedekatan sosial. Politik nasional tumbuh di tanah kering: kering oleh formalitas, panas oleh persaingan elit, dan sering disirami janji-janji yang terlalu banyak pupuk buatan.

Bahkan dalam kampanye pun, bedanya terasa. Politisi lokal datang ke rumah-rumah, menyapa sambil minum kopi. Politisi nasional naik panggung, lempar jargon, lalu hilang ditelan pesawat jet. Yang satu bicara dari hati ke hati, yang satu bicara dari teleprompter ke hati netizen.


Bab 4: Jembatan yang Terputus

Masalah besar kita sebenarnya adalah disconnect antara dua level politik ini. Seharusnya, mereka saling mengisi. Tapi yang terjadi, seringkali mereka saling menyalahkan. Politik lokal merasa ditinggal kebijakan nasional. Politik nasional merasa politik lokal tidak mendukung program negara.

Akibatnya, rakyat terjepit di tengah. Saat pemerintah pusat menurunkan dana, daerah bingung mengelolanya. Saat daerah punya program bagus, pusat lambat merespons. Kita jadi seperti pemilik kebun cempedak yang tak pernah bisa menikmati buahnya sendiri karena panennya selalu dikirim ke ibu kota, tapi kembali dalam bentuk peraturan yang sulit dimakan.

Lebih parah lagi, banyak politisi lokal yang saat naik ke nasional, langsung lupa rasa lokalnya. Seperti cempedak yang dipoles, rasa aslinya dikorbankan demi aroma impor. Padahal, kekuatan politik nasional seharusnya justru bertumpu pada pemahaman lokal yang kuat.


Bab 5: Antara Rasa Nyata dan Rasa Palsu

Dalam banyak kasus, politik nasional menjual mimpi, sementara politik lokal menjual harapan. Bedanya tipis, tapi dampaknya besar. Mimpi bisa membuat orang melayang, tapi harapan membuat orang bertahan. Kita butuh mimpi, tapi juga butuh tanah tempat berpijak.

Sayangnya, banyak rakyat yang sudah lelah bermimpi. Mereka tak lagi percaya pada politik nasional yang gemerlap. Mereka lebih memilih kepala desa yang bisa memperbaiki jembatan daripada menteri yang sibuk rapat di luar negeri. Cempedak kampung lebih mereka percaya ketimbang buah impor dari parlemen.

Kita hidup dalam era overpromised, underdelivered. Politik nasional sering terjebak dalam janji bombastis. “Ibu Kota Baru,” “Swasembada Energi,” “Kendaraan Listrik Nasional.” Bagus di baliho, tapi belum terasa di dapur rakyat.


Bab 6: Rekonsiliasi Rasa, Bukan Rebutan Kuasa

Maka dari itu, penting untuk membangun kembali jembatan rasa antara politik lokal dan nasional. Bukan hanya lewat kebijakan, tapi lewat pendekatan yang manusiawi. Politik harus kembali ke fungsi dasarnya: melayani, bukan bersandiwara.

Politik nasional harus turun ke bumi. Belajar dari kepala dusun yang tahu siapa yang butuh bantuan sebelum diminta. Belajar dari guru SD di desa yang mengajar tanpa fasilitas, tapi penuh dedikasi. Mereka adalah politisi tanpa jabatan.

Sebaliknya, politik lokal juga harus berani naik kelas. Bukan sekadar sibuk proyek drainase atau bagi-bagi sembako saat pemilu, tapi mulai bicara soal arah pembangunan jangka panjang. Harus ada keberanian untuk melawan politik praktis yang menyempitkan harapan.


Bab 7: Cempedak Ideal: Harum, Manis, dan Bergizi

Politik ideal bukan tentang lokal atau nasional. Tapi tentang rasa yang sama: rasa tanggung jawab, rasa keadilan, rasa empati. Cempedak terbaik adalah yang bisa dibagi rata, tanpa menyisakan biji besar yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Bayangkan jika politik lokal dan nasional saling belajar dan berbagi. Bayangkan jika anggaran pusat didistribusi dengan adil dan tepat. Bayangkan jika pemimpin nasional pernah merasakan susahnya hidup di kampung, bukan sekadar turun saat kampanye.

Bayangkan jika suara rakyat tak lagi sekadar tangga menuju kekuasaan, tapi kompas menuju keadilan. Mungkin saat itu, kita bisa bilang: “Akhirnya, kita punya cempedak yang rasanya benar.”


Penutup: Pilihlah Rasa, Bukan Bungkus

Politik bukan supermarket buah yang menilai dari tampilan. Kita harus belajar mencium mana yang benar-benar matang, dan mana yang hanya dibungkus plastik tebal. Jangan terkecoh oleh kemasan nasional jika isinya tak lebih baik dari buah lokal yang kita tanam sendiri.

Rakyat berhak atas politik yang rasanya jujur. Tidak pahit karena kebohongan, tidak getir karena pengkhianatan. Tapi manis karena ketulusan, dan legit karena kerja nyata.

Cempedak beda rasa bukan masalah—selama semua rasa itu membawa kenyang, bukan hanya mimpi.


Salam dari kebun demokrasi, di mana kita masih percaya, bahwa buah yang baik datang dari pohon yang dirawat dengan hati, bukan hanya dengan janji.


Monolog Cempedak Demokrasi: Antara Bau Harum dan Isi Getir

(Oleh: Jeffrie Gerry – Japra)


(1)
Aku duduk di pinggir jalan kampung,
menatap cempedak tergolek di tikar,
baunya menggoda,
warnanya menggairahkan,
tapi lidahku curiga,
karena dulu, pernah tertipu rasa.

Cempedak ini katanya lokal,
petikannya dari kebun belakang rumah,
ditanam oleh Pak Lurah yang suka nyicil janji
dan dipupuk oleh warga yang sudah muak dipeluk saat kampanye.

(2)
"Rasa lokal itu nyata," katanya.
"Meski kadang getir, setidaknya bukan palsu."
Aku mengangguk,
tapi kenapa perutku tetap kosong?

(3)
Dulu ada satu lagi,
cempedak dari Jakarta,
dibungkus plastik bening,
ada stiker bertuliskan:
“Rasa Nasional: Premium, Harum, Berstandar Visi Bangsa.”
Aku gigit pelan-pelan…
dan ya ampun…
isinya hanya janji dan pewarna buatan.

(4)
Wahai rakyat jelata macam aku,
mengapa kita begitu suka aroma cempedak,
padahal sudah tahu,
kadang dagingnya tipis,
bijinya besar,
dan sisanya hanyalah lembaran baliho.

(5)
Lalu mereka bilang:
"Politik lokal itu seperti makan di warung padang."
Kita bisa protes kalau gulai terlalu asin.
Tapi politik nasional?
Kita hanya bisa menonton dari etalase layar kaca
sambil menahan lapar.

(6)
Dulu aku pikir politik itu ladang amal,
tempat orang-orang terpilih
menanam kebaikan untuk panen keadilan.
Ternyata, itu hanya puisi yang dikunyah waktu.

(7)
Lihatlah para pejabat kita.
Yang satu baru dilantik jadi bupati,
langsung borong mobil dinas.
Yang satu lagi senator di Senayan,
berpidato soal kemiskinan
dengan jam tangan seharga lima tahun gaji nelayan.

(8)
Dan aku masih di sini,
mengupas cempedak yang entah dari mana,
mencari sepotong harapan
di antara biji-biji janji.

(9)
Aku ingin percaya, sungguh ingin,
bahwa politik masih punya rasa.
Tapi bagaimana bisa,
jika pemimpin kampung berubah saat naik ke ibu kota?
Dulu menyapa sambil sandal jepit,
kini sibuk di televisi debat pakai dasi.

(10)
Mereka lupa
jalan tanah tempat ibu-ibu mengangkut sayur,
lupa got yang bau tiap musim hujan,
lupa musala reot yang dulu jadi tempat janji,
semua jadi kenangan kampanye.

(11)
Katanya sih,
“Di tingkat nasional, kita bicara strategi global.”
Tapi kenapa rumahku tetap mati lampu
dan sekolah anakku masih bocor gentengnya?

(12)
Katanya lagi,
"Politik itu mimpi kolektif bangsa."
Lalu kenapa aku merasa ini mimpi buruk
yang tak kunjung bangun meski sudah lima kali pemilu?

(13)
Aku pernah bertanya,
mana yang lebih penting:
cempedak lokal yang nyata, atau
cempedak nasional yang harum tapi kosong?

Jawabnya:
"Keduanya penting!"
Ah, jawaban diplomatis!
Seperti kue ulang tahun tanpa isi.

(14)
Cempedak itu kini jadi metafora hidupku.
Kadang matang di pohon janji,
kadang busuk di tong keputusan.
Kadang dipetik sebelum siap,
kadang dibiarkan jatuh sendiri,
dan aku yang membersihkan getahnya.

(15)
Pernah aku tanya ke Pak RT:
"Kenapa bantuan selalu datang saat mendekati Pilkada?"
Beliau menjawab sambil tertawa:
"Itu bukan bantuan, itu umpan."

Dan aku?
Ikan bodoh yang selalu memakan kail yang sama,
berulang-ulang.

(16)
Suatu hari, aku nekat datang ke balai kota,
ingin bertemu pejabat yang katanya "wakil rakyat."
Tapi yang kutemui hanya satpam dengan muka lelah
dan janji untuk "datang lagi minggu depan."

Aku pulang membawa sepiring kecewa
dan setumpuk formulir pengaduan yang tak akan dibaca.

(17)
Mereka bilang demokrasi adalah suara rakyat.
Tapi kenapa suaraku hanya terdengar saat pemilu?
Setelah itu, hening seperti kuburan ideologi.

(18)
Sementara itu,
mereka sibuk rapat, seminar, studi banding ke luar negeri
untuk mencari solusi
atas masalah yang tidak pernah mereka alami.

(19)
Cempedak di kampungku kini tinggal bijinya.
Yang manis sudah dibawa ke kota,
yang pahit dibiarkan membusuk.

Dan rakyat seperti aku
disuruh bersabar,
karena katanya:
“Semua demi pembangunan.”

Pembangunan siapa?

(20)
Aku bukan anti-pemerintah.
Aku hanya ingin dipercaya,
disebut, disapa,
dianggap manusia.

Tapi rasanya,
bahkan robot pun kini lebih sering dijawab di aplikasi pengaduan,
ketimbang aku yang menulis surat pakai tangan.

(21)
Aku menulis ini sambil menahan geli,
melihat baliho baru di pertigaan,
tokoh muda katanya,
bermisi “Perubahan untuk Semua.”

Tapi kenapa wajahnya sama dengan yang lima tahun lalu gagal?
Bedanya cuma desain poster.

(22)
Dulu katanya "Merakyat."
Sekarang jadi "Bersama Rakyat."
Nanti mungkin "Rakyat, Kerjakan Sendiri Saja!"

(23)
Ah, cempedak oh cempedak,
mengapa engkau harus menjadi korban simbolik politik?
Mengapa tidak dibiarkan menjadi buah saja,
yang bisa disantap bersama
tanpa debat panjang dan sumpah palsu?

(24)
Kalau boleh memilih,
aku ingin kembali ke masa ketika pemimpin bukan selebriti,
ketika rapat desa lebih penting dari jumlah likes,
dan ketika janji bukan strategi branding,
melainkan hutang moral.

(25)
Tapi aku sadar,
aku hanya suara kecil,
di antara teriakan mesin politik raksasa.
Suara yang sering dianggap angin lalu,
kecuali saat dibutuhkan jadi suara pemilih.

(26)
Maka dari itu,
aku akan tetap menanam cempedakku sendiri,
di pekarangan rumah,
dengan pupuk harapan dan air kerja keras.

Aku tahu, buahnya tidak akan langsung manis.
Tapi setidaknya,
rasanya jujur.

(27)
Dan jika suatu hari
datang lagi politisi ke rumahku,
dengan senyum kamera dan brosur program,
aku akan tawarkan cempedakku,
lalu berkata:

“Coba kunyah, Pak.
Kalau rasanya palsu,
maka Bapak tahu seperti apa rasanya janji Bapak kemarin.”


(Penutup dalam bisikan):
Cempedakku bukan tentang buah,
tapi tentang rasa.
Politik bukan soal menang kalah,
tapi soal apakah rakyat masih bisa makan dengan damai
di meja yang dibangun dari kayu keadilan.


Puisi ini adalah nyanyian satir dari rakyat yang muak dibohongi, tapi belum berhenti berharap. Ditulis dengan hati, bukan pesanan, dan didedikasikan untuk siapa pun yang pernah mencicipi getirnya demokrasi lokal dan nasional.

Post a Comment

0Comments

🥕🌍📢
Halo, Sobat Sayur dan Pecinta Satir!
Selamat datang di Ladang Satir Wortelkenesia!

📖 Di sini, kami tidak menanam kebosanan.
Kami memanen tawa, ironi, dan pesan kehidupan lewat kisah para sayuran yang cerdas, kadang konyol, dan penuh makna!

💬 Pemilu? Bisa!
🥦 Demokrasi Brokoli? Ada!
🚜 Traktor Otoriter? Tunggu dulu...!

🔎 Temukan cerita-cerita satir penuh sindiran manis (kadang pahit), dan mari kita renungkan bersama:
Apakah suara rakyat benar-benar dari ladang... atau dari knalpot traktor? 🌱

📝 Jangan lupa:
✅ Bagikan ke teman sesama penyuka cerita unik!
✅ Tinggalkan komentar—karena suara kamu penting (lebih dari wortel bersuara tinggi).
✅ Kembali lagi setiap minggu, karena ladang ini terus menumbuhkan cerita baru!

💚 Terima kasih telah mampir. Semoga kisah para sayur ini menumbuhkan senyuman dan pemikiran segar di hatimu.

— Tim Wortelkenesia 🥕

Post a Comment (0)